Fenomena Cacar Monyet yang Menggila, Indonesia Harus Waspada
--
Sebenarnya bukan hanya monyet saja sebagai sumber penularan. Beberapa binatang liar dapat bertindak pula sebagai reservoar. Melalui gigitan atau cakaran, tupai, spesies tikus tertentu dan primata lainnya, berpotensi menularkan virus monkeypox. Makan daging/produk hewan yang terinfeksi dan tidak dimasak secara optimal, memungkinkan sebagai cara transmisi virus. Demikian pula penularan melalui plasenta, dapat terjadi dari seorang ibu pada janin yang dikandungnya.
Benda-benda di sekitar lingkungan hidup manusia, bisa terkontaminasi virus dan dapat menjadi media penularan. Misalnya adalah tempat tidur yang mengandung cairan tubuh atau droplet/percikan lendir saluran napas. Pada prinsipnya penularan dapat terjadi pada siapa pun tanpa terkecuali. Terutama bila berlangsung kontak erat dengan sumber infeksi.
Gejala
Masa inkubasinya berkisar antara lima hingga 21 hari. Demam sering kali mengawali gejala klinis lainnya, yaitu berupa sakit kepala yang hebat, nyeri punggung, dan otot serta rasa lemas yang berlebihan. Dua hingga tiga hari kemudian, muncul ruam-ruam pada area wajah. Ruam ini segera menyebar ke bagian lain dari tubuh. Telapak tangan dan telapak kaki, menjadi target sasaran berikutnya.
Lesi tersebut bisa terasa sangat nyeri. Walaupun kadang kala juga disertai gatal. Bentuknya semacam lentingan-lentingan kecil berisi cairan bening (vesikel) atau cairan kekuningan (pustula). Lokasi lesi lainnya adalah di seputar daerah anus dan alat kelamin (anogenital) serta selaput lendir mulut dan mata.
Setelah melalui beberapa tahap perubahan, akhirnya lesi-lesi tersebut menjadi keropeng (krusta), mengering dan rontok. Pembengkakan kelenjar getah bening di beberapa tempat, sering terjadi. Biasanya bisa teraba di seputar leher, ketiak dan selangkangan.
Kondisi ini akan pulih secara keseluruhan dalam jangka waktu dua hingga empat minggu. Walaupun tidak separah cacar (smallpox) yang disebabkan oleh virus variola, cacar monyet dapat menimbulkan komplikasi/penyulit medis. Hal ini terutama bisa terjadi pada seseorang dengan sistem imunitas yang terganggu (misalnya ODHA/orang dengan HIV-AIDS).
Monkeypox tergolong penyakit yang dapat sembuh sendiri (self-limiting disease). Secara keseluruhan, risiko kematiannya mencapai tiga hingga enam persen.
Pencegahan
Sumber infeksi yang terkonfirmasi, perlu dilakukan isolasi. Penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan surveilans, merupakan langkah penting mencegah cacar monyet. Pelaku perjalanan yang baru kembali dari wilayah terjangkit, memerlukan observasi ketat bila mengalami gejala. Edukasi masyarakat perlu dilakukan, terutama pada kelompok/komunitas berisiko tinggi seperti LGBT dan pekerja seks komersial (PSK).
Menurut WHO, vaksinasi massal untuk cacar monyet saat ini belum diperlukan. Namun direkomendasikan khususnya pada seseorang yang kontak dengan sumber penularan dan kelompok risiko tinggi. Tindakan preventif ini disesuaikan dengan kebijakan pemerintahnya masing-masing.
Tenaga kesehatan (nakes) yang menangani kasus tersebut dan staf laboratorium, termasuk dalam kategori kelompok berisiko. Seseorang yang pernah mendapatkan vaksin cacar, mempunyai tingkat proteksi sebesar 85 persen terhadap cacar monyet.
Seperti diketahui, penyakit cacar telah berhasil dilakukan eradikasi. Kasus terakhir yang dilaporkan terjadi di Somalia pada 26 Oktober 1977. WHO telah mendeklarasikan dunia bebas dari penyakit tersebut, pada 8 Mei 1980. Sejak saat itu, vaksinasi cacar telah dihentikan.
Semoga respons yang cepat dan tepat dari pemerintah, dapat mencegah terjangkitnya cacar monyet di Indonesia. (*)
Oleh: Ari Baskoro (Divisi Alergi-Imunologi Klinik, Departemen/KSM Ilmu Penyakit Dalam, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: