Ketika Konstruksi Kasus Yosua Berkembang
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
Brigadir Nopriansah Yosua Hutabarat bukan penjahat. Buktinya, ia dimakamkan (ulang) secara dinas, Rabu, 27 Juli 2022. Peti diselimuti sang saka Merah Putih. Tembakan salvo. Kini Bharada E jadi tersangka, pengacaranya heran. Kok bisa?
PENGACARA Bharada E (Richard Eliezer), Andreas Nahot Silitonga, kepada pers, Kamis (4/8), mengatakan, kliennya dijerat Pasal 338 KUHP juncto Pasal 55 dan 56 KUHP.
Andreas Nahot Silitonga: ”Itu membingungkan buat kami. Karena kalau yang disampaikan klien kami, itu semua (rangkaian kejadian) dilakukan sendiri. Dilakukan sendiri. Satu lawan satu. Pasal 55 KUHP, berarti itu ada penyertaan. Ada orang lain yang melakukan bersama-sama dengan dia (Bharada E) dan memiliki niat yang sama.”
Dilanjut: ”Makanya dia, pasal 55 berarti orangnya (selain Bharada E) juga harus ada di situ (TKP). Katakanlah pasal 56 satu lagi ya, kalau pasal 56 dia memberikan sarana. Tapi, dia juga harus memiliki niat yang sama. Jadi, saya bingung sebenarnya, orang siapa yang dimaksud, kejadian itu murni dilakukan satu lawan satu.”
Andreas heran, mengapa E dikenai Pasal 55 dan Pasal 56? Sebagai pelengkap, dua pasal itu bunyinya demikian:
Pasal 55 KUHP Ayat 1: Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
a) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.
b) Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
Pasal 55 KUHP Ayat 2: Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 KUHP: Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
a) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
b) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Sedangkan, pengumuman Polri yang sudah tersebar ke publik selama hampir sebulan ini: Hanya ada dua orang baku tembak. E dan J. Lalu, J tewas. Tidak ada orang lain.
Tuduhan utamanya, E melanggar Pasal 338 KUHP. Bunyinya: Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
Ada hal lain, menurut Andreas Nahot Silitonga. Ia katakan:
”Kami mendampingi langsung pemeriksaan klien kami, sebagai saksi, di tanggal 4, tepatnya jam satu lewat dua. Jadi, kami pertanyakan, bagaimana seseorang yang belum selesai diperiksa sebagai saksi, tapi langsung tersangka.”
Penetapan Bharada E jadi tersangka diumumkan Direktur Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Andi Rian dalam jumpa pers di Mabes Polri, Rabu (3/8). Dikatakan demikian:
”Penyidik sudah melakukan gelar perkara dan pemeriksaan saksi, juga sudah kita anggap cukup, untuk menetapkan Bharada E sebagai tersangka.”
Dilanjut: ”Dengan persangkaan Pasal 338 juncto Pasal 55 dan/atau 56 KUHP.”
Hal lain, Komnas HAM yang semestinya memeriksa hasil uji balistik dari Polri pada Rabu, 3 Agustus 2022. Ditunda jadi Jumat, 5 Agustus 2022. Mengapa?
Anggota Komnas HAM, M. Choirul Anam, dalam keterangan tertulis, Selasa, 2 Agustus 2022, menyatakan:
”Perubahan ini disampaikan oleh Ketua Tim Khusus Polri karena masih membutuhkan waktu untuk persiapan bahan yang diperlukan oleh Komnas HAM.”
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik kepada pers, Kamis, 4 Agustus 2022, soal penundaan uji balistik itu, mengatakan:
”Yang sudah dijanjikan, kami tunggu. Kalau janjinya nggak dipenuhi, saya lapor atasan. Saya bilang: ’Anak buahmu tidak komit dengan kesepakatan.’ Nggak susah, di awal Pak Wakapolri datang kemari, saya minta transparansi dan akuntabilitas. Dan, beliau sudah menjanjikan di depan publik.”
Dilanjut: ”Sekarang, kalau seandainya tiba-tiba ada komitmen itu yang misalnya kurang tepat gitu, ya saya bilang ke atasannya. Dengan cara apa, ya cara hubungan antara lembaga, ya nggak nuding-nuding orang sembarangan tentunya.”
Dilanjut: ”Apakah melalui surat atau melalui ke atasannya supaya mengingatkan bawahannya? Gampangnya, salah satunya saya bilang saya akan sampaikan ke Pak Mahfud, ’Kelihatannya itu ada yang harus dibenahi tuh, Bapak kan selain Menko juga ketua Kompolnas.’ Ini ada monitoring yang rutin dari presiden. Pak Mahfud sangat pastilah itu, anytime dia komunikasi sama kami kok.”
Yang dimaksud adalah Menko Polhukam Mahfud MD. Yang sejak awal memperhatikan kasus itu.
Centang perenang di kasus tersebut, menurut Mahfud, karena dua hal: Psiko-hierarkis dan psiko-politis. Tidak dijabarkan artinya.
Mahfud sudah menerima banyak data dari berbagai sumber. Disimpulkan, sebenarnya ini kasus sederhana. Ditangani di tingkat polsek saja bisa selesai dengan cepat. Seandainya tidak ada dua unsur penyebab itu.
Tapi, Mahfud menegaskan, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah bertindak benar. Antara lain, membentuk tim khusus penyelidik. Melibatkan Komnas HAM dan Kompolnas. Menonaktifkan tiga petinggi Polri. Autopsi ulang jenazah Yosua. ”Kapolri sudah bertindak benar,” ujar Mahfud.
Kasus itu mengagetkan publik dengan pernyataan Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Hermawan Sulistyo.
Pernyataan Hermawan Sulistyo dimuat KompasTV online, Kamis, 4 Agustus 2022, berjudul TKP Diduga Dibersihkan-Bukti Hilang, Ahli: Polri Tak Cukup Kuat Jerat Ferdy Sambo Pasal Pembunuhan.
Di situ Hermawan mengatakan: ”Bukti-bukti fisiknya itu pada enggak ada gitu, pada hilang karena TKP-nya dibersihkan.”
Dilanjut: ”Itu makanya kapolresnya dicopot, karena TKP kok dibersihkan, TKP kan enggak boleh dibersihkan.”
Hampir sebulan kasus ini jadi perhatian masyarakat. Sepertinya belum segera mencapai akhir. Suatu akhir yang diharapkan Presiden Jokowi, sebagai: ”Jangan ada yang ditutup-tutupi....” (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: