Ngangkring Strategis
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
DUA hari saya menghadiri dua acara yang memancing perenungan. Kafispolgama Ngangkring di Jakarta dan seribu hari Djaduk Ferianto di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) Yogyakarta.
Yang pertama ajang reuni alumni mahasiswa Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM). Sedangkan yang kedua peringatan kematian seorang seniman. Sebuah tradisi yang berkembang di kalangan keluarga Jawa.
Yang satu acara kangen-kangenan gayeng dari sekelompok orang yang pernah bersama-sama dalam ruang dan waktu. Satunya pertemuan antar kerabat dan kawan untuk mengenang seseorang yang telah meninggal.
Penggunaan istilah ngangkring untuk sebuah reuni alumni perguruan tinggi ternama sangat menarik. Ngangkring adalah bahasa Jawa. Berasal dari kata angkring yang berarti alat dan tempat jualan keliling dengan menggunakan pikulan melengkung.
Di Yogyakarta, angkringan identik dengan tempat makanan rakyat. Berharga murah dan egaliter. Biasanya menjadi tempat nongkrong para mahasiswa yang uang sakunya terbatas. Di tempat itu, mereka bisa berdiskusi kelompok sambil minum dan makan tanpa menguras kantong lebih dalam.
Sedangkan peringatan kematian di dunia pesantren disebut dengan haul. Kegiatan yang telah menjadi tradisi itu biasanya berlangsung setiap tahun. Haul selama ini menjadi instrumen penting dalam menjaga hubungan antara kiai dan para santri meski mereka sudah menjadi alumni. Haul telah menjadi lembaga sosial yang memperkuat jaringan antar-pondok pesantren.
Akankah reuni alumni perguruan tinggi mampu menjadi lembaga sosial seperti haul dalam pondok pesantren? Akankah model haul dalam membangun jejaring sebuah institusi bisa diduplikasi oleh lembaga atau komunitas di luar pesantren? Tampaknya ini menarik untuk diikuti.
Yang pasti, ada kesamaan tujuan dari dua peristiwa yang telah saya datangi di akhir pekan kemarin. Kafisipolgama maupun 1.000 hari kematian Djaduk tak sekadar peristiwa biasa. Keduanya telah menjadi peristiwa sosial yang bisa dimaknai lebih dalam.
Djaduk adalah seniman yang menjadi bagian penting dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Inilah padepokan yang menjadi pusat pendidikan tari bagi banyak penari dari seluruh negeri. Padepokan itu lantas dilanjutkan anak-anak Bagong yang juga seniman: Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto.
Inilah ajang untuk membangun kebersamaan, perkawanan, dan kekerabatan antara orang-orang yang pernah bersama-sama. Pertemuan membangun kedekatan dalam komunitas. Peristiwa yang bermakna dalam mempererat relasi sosial sekaligus relasi profesional di antara anggota komunitas.
Kafispolgama Ngangkring menjadi ajang pertemuan lintas jurusan dan lintas angkatan alumni Fisipol UGM. Mengambil tema yang sangat Yogyakarta: Ngangkring Gayeng Tombo Kangen. Bertempat di Taman Kota Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta. Dengan ngangkring, temu kangen yang diikuti banyak pejabat strategis itu menjadi lebih egaliter dan menipiskan sekat.
Bisa saja, peristiwa semacam itu hanya menjadi ajang romantisme. Tapi, di situlah sebetulnya energi baru dibangun. Terbukti, hampir semua angkatan datang. Mulai yang senior sampai paling junior.
Yang senior telah banyak menduduki jabatan strategis di perusahaan swasta maupun pemerintahan. Mereka berbaur bersama dengan alumni yang baru merintis karier dan kerja. Di ibu kota. Mereka membangun jaringan sambil menikmati kehebohan senior mereka saat bertemu para koleganya.
Reuni pada dasarnya bukan sekadar peristiwa bertemunya sejumlah orang. Ia menjadi ajang membangun relasi baru dengan berbagai kepentingan di dalamnya. Ini untuk yang junior. Sedangkan yang senior, acara seperti itu menjadi tempat jeda sebentar dari rutinitas kerja. Gojekan gayeng alias guyonan bebas.
Apa pun juga, sukses dalam dunia kerja sebetulnya lebih ditentukan oleh networking alias jaringan personal. Tentu di luar kompetensi dan kepercayaan diri. Jaringan yang terbangun melalui kesamaan di perguruan tinggi biasanya lebih kuat jika dibandingkan dengan lainnya. Perkawanan di SMA biasanya lebih sementara. Perkawanan di perguruan tinggi biasanya berlanjut ke dunia kerja.
Cara berpikir itu pula yang menyebabkan banyak orang cenderung menyekolahkan anaknya di dalam negeri untuk strata sarjana. Sebab, di situlah mereka akan membangun jaringan awal dalam dunia kerja. Bukan dengan sesama angkatannya di SMA maupun di jenjang sebelumnya.
Fakta di lapangan, banyak lulusan luar negeri di strata satu yang tidak kerasan kerja setelah pulang ke negerinya. Ada kecenderungan –tapi masih perlu dikaji melalui penelitian– mereka tidak bertahan kerja di dalam negeri karena minimnya jaringan pertemanan. Mereka umumnya kemudian lebih suka kembali ke negeri tempat ia kuliah.
Kecuali –tentu saja– mereka yang harus pulang karena sudah disiapkan pekerjaan oleh orang tuanya. Kecuali mereka yang harus meneruskan bisnis orang tuanya. Tapi, bagi mereka yang kuliah S-1 di luar negeri dan menekuni dunia profesional di dalam negeri, banyak kasus yang tak kerasan dan lebih memilih bekerja di luar negeri.
Kecenderungan seperti itu sebetulnya tidak menjadi masalah ketika jarak ruang menjadi bukan persoalan karena perkembangan teknologi sekarang. Namun, membangun soliditas perkawanan untuk saling menopang dalam dunia kerja bukan tanpa alasan. Ia sangat bermakna bukan dalam konotasi negatif seperti kolusi. Tapi, lebih saling melengkapi dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Tradisi bereuni baik oleh alumni perguruan tinggi maupun pedepokan seni sebetulnya bukan hanya romantisme. Melainkan, ia menjadi alat untuk membangun jaringan perkawanan yang bisa menopang kesuksesan dalam dunia kerja. Ia dapat menemukan maknanya ketika dunia lebih membutuhkan kolaborasi dalam setiap sektor kehidupan.
Yang pasti, kemasan sebuah peristiwa bisa membangun nuansa relasi sosial baru. Dengan hanya mengemas reuni alumni kenamaan dengan idiom egaliter bisa membangun suasana yang sama. Menghilangkan sekat sambil membangun soliditas baru. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: