Konsumsi Gula, Garam, Lemak dan Ancaman Penyakit Tidak Menular

Konsumsi Gula, Garam, Lemak dan Ancaman Penyakit Tidak Menular

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

PENYAKIT stroke, diabetes melitus, kanker, jantung, dan sejenisnya sudah tak asing lagi kita dengar. Saat ini penyakit-penyakit itu telah menjadi penyumbang angka kesakitan dan kematian tertinggi di Indonesia.

Ya, itulah yang disebut dengan penyakit tidak menular (PTM). Penyakit tersebut tidak ditularkan dari orang ke orang, tetapi perkembangan penyakitnya berjalan perlahan dan dalam jangka waktu yang panjang. Kini PTM mulai mengancam kelompok usia lebih muda dan usia produktif serta telah menyebar ke semua level ekonomi. Sebelumnya,  PTM didominasi kelompok usia lanjut dan ekonomi menengah ke atas.  

Hasil studi Global Burden of Disease tahun 2019 menunjukkan bahwa faktor risiko utama munculnya penyakit tersebut adalah pola makan. Konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) yang berlebih serta kebiasaan makan di luar rumah di era masyarakat modern plus kurangnya aktivitas fisik disinyalir  menjadi salah satu kontributor pendorong tren meningkatnya kejadian PTM di masyarakat.

Sebelumnya, Kemenkes RI melalui hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 juga mengungkap fakta bahwa terdapat 1 dari 3 orang dewasa usia 18 tahun ke atas; 1 dari 5 anak berusia 512 tahun; dan 1 dari 7  remaja berusia 1318 tahun yang mengalami kelebihan berat badan dan/atau obesitas.  Kelebihan berat badan dan obesitas pada masa kanak-kanak dan remaja dapat meningkatkan risiko PTM di kemudian hari.

Adanya ancaman tersebut menjadi urgen dan bahkan darurat untuk dilakukan pengendalian faktor risiko. Selain menyedot biaya terbesar JKN,  juga begitu besarnya dampak bagi SDM dan perekonomian Indonesia mendatang, ketika Indonesia pada 20202040 menghadapi bonus demografi.

 

Konsumsi GGL dalam Gaya Hidup Modern

Era globalisasi dengan perkembangan teknologi, media informasi, dan perubahan iklim yang terjadi saat ini memicu terjadinya perubahan gaya hidup di masyarakat yang mengarah pada 3F: food, fun, and fashion.

Pada food, kebiasaan mengonsumsi makanan-minuman berisiko kesehatan yang terkait GGL cenderung meningkat. Misalnya, makanan dan minuman manis, makanan asin, serta makanan berlemak/kolesterol/gorengan dengan jenis konsumsi terbesar makanan-minuman olahan serta siap saji.

Hal itu tecermin dari hasil Riskedas tahun 2018. Yakni, kebiasaan konsumsi minuman manis oleh anak berumur 3 tahun ke atas mencapai 91,49 persen, makanan berlemak 86,7 persen, dan makanan asin mencapai 72,7 persen.

Konsumsi berbagai makanan dan minuman berisiko tersebut jika lebih dari satu kali sehari atau 16 kali dalam sepekan akan berdampak buruk bagi kesehatan. Di antaranya, dapat meningkatkan risiko obesitas dan PTM lainnya.

Demikian juga hasil survei konsumsi makanan individu oleh Armarita dkk tahun 2015: Indonesia sudah berisiko sangat tinggi terhadap konsumsi GGL dan telah masuk situasi berbahaya karena 30 persen penduduk (setara dengan 77 juta orang) konsumsinya sudah melebihi dari rekomendasi Permenkes No 63 Tahun 2015  per hari.

 

Pendekatan Pemecahan Masalah

Tantangan berat sekarang dan mendatang adalah kenyataan yang ada di masyarakat, bahwa masalah PTM dan determinannya tersebut sangatlah kompleks dan terus berkembang seiring dengan disrupsi teknologi, krisis moneter, ketidakpastian politik, dan sosial budaya secara global yang harus dihadapi karena merupakan ancaman yang nyata.

Tak dapat dimungkiri bahwa pemerintah melalui Kementerian Kesehatan telah menginisiasi dan melaksanakan beberapa program terkait PTM. Namun, hasil evaluasi program-program tersebut perlu diangkat agar dapat menjadi pembelajaran dalam upaya selanjutnya.

Menurut Forman et al tahun 2009, peningkatan prevalensi PTM erat kaitannya dengan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Di antaranya, obesitas dan konsumsi makanan. Konsumsi makanan yang diketahui berperan sebagai faktor risiko utama PTM adalah gula, garam, dan lemak.  Karena itu, asupan GGL perlu lebih diperhatikan sedini mungkin dan menjadi kepedulian semua pihak, terutama karena dampaknya terhadap kualitas kehidupan.

Masalah PTM yang ada bersifat populatif dan seharusnya dicegah pada level determinan dengan upaya preventif dan terapi dalam setting komunitas agar terjadi peningkatan kesadaran dan kesalehan masyarakat bergaya hidup sehat dengan konsumsi GGL yang secara bijak dan tepat. Dengan multistrategi bersama dengan multimitra, termasuk masyarakat, baik komponen masyarakat, masyarakat swasta (pelaku bisnis), masyarakat  media, maupun penguatan peran pemerintah.

 

Pengendalian Konsumsi Gula, Garam, dan Lemak Berlebih

Konsumsi GGL berlebihan yang menjadi bagian dari gaya makan modern merupakan masalah yang kompleks. Diperlukan kerja keras dan cerdas serta tuntas dengan setting keyakinan bahwa setiap masalah pasti ada solusinya.

Beberapa strategi preventif dan promotif dapat dilakukan dalam setting komunitas. Pertama, melalui edukasi dan penguatan literasi gaya hidup sehat dengan konsumsi GGL tepat dan bijak. Mendidik dan meningkatkan advokasi gizi kepada masyarakat tentang potensi bahaya yang disebabkan produk yang tidak sehat (GGL berlebih) dan memobilisasi konsumen untuk beralih ke pilihan yang lebih sehat.

Konsumsi GGL tidak dilarang, tetapi perlu dibatasi. Kebiasaan konsumsi GGL yang salah di masyarakat dan harus diubah perlu diedukasikan kepada target seluruh masyarakat melalui advokasi dan edukasi di sekolah, industri makanan-minuman, restoran, pabrik, dan institusi terkait lainnya.

Selanjutnya, perlu penyebaran informasi yang tepat dan cepat pada target dengan melibatkan multimedia. Seperti diketahui, media massa memiliki peran dalam mendorong perubahan sosial masyarakat sebagai pengubah pola pikir masyarakat.

Sosialisasi dan  diseminasi serta kampanye hubungan GGL dan PTM  ke masyarakat dan seluruh institusi terkait (pemerintah, swasta, serta industri makanan dan minuman) melalui berbagai media sangat diperlukan untuk mengendalikan konsumsi GGL berlebih setiap hari sebagai kebiasaan yang sudah berlebihan ini.

Upaya lainnya adalah peningkatan akses dan ketersediaan makanan sehat dengan melibatkan pelaku usaha. Edukasi dan literasi GGL akan menjadi tidak optimal jika tidak didukung adanya kemudahan akses masyarakat terhadap makanan yang sehat (GGL sesuai standar).

Tren kebiasaan makan baru di negara-negara maju, eating delicious and healthful processed food, berpeluang menjadi pendorong pelaku bisnis industri untuk melakukan reformulasi komposisi GGL agar lebih sesuai dengan permintaan konsumen dan regulasi yang berlaku.

Sedangkan di industri pelayanan makanan, para chef  telah memiliki sikap positif terhadap gizi, tetapi sebagian kurang memahami dengan peran lemak dan kolesterol dalam makanan sehingga kurang maksimal dalam menyiapkan makanan sehat. Dengan diberikan pelatihan gizi yang memadai, hambatan untuk mempraktikkan penjamahan makanan sehat di industri jasa makanan dapat ditiadakan.

Last but not least, penguatan regulasi terkait produk makanan GGL yang beredar di masyarakat mendesak untuk dilakukan. Kebijakan dan program sangat diperlukan untuk penguatan dalam peningkatan pengetahuan dan akses terhadap makanan sehat yang beredar di masyarakat.

Pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai regulasi terkait untuk mengurangi konsumsi gula, garam, dan lemak, termasuk pada produk-produk makanan jadi, juga makanan siap saji. Antara lain, menerapkan cukai berjenjang (tiered tax) tertentu dengan tarif yang dikaitkan dengan volume GGL. (*)

*) Annis Catur Adi, guru besar pada Departemen Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga

Sumber: