Budaya Filantropi

Budaya Filantropi

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

RASANYA sebulan ini kita dijejali kabar yang bikin sesak napas. Mulai skandal penyimpangan dana filantropi oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) sampai kasus polisi bunuh polisi yang melibatkan seorang jenderal.

Seburam itukah langit di negeri kita? Seburuk itukah muka kita di cermin? Tidakkah ada hal-hal yang positif, inspiratif, dan konstruktif? Tak adakah kabar baik yang membuat kita lebih opstimistis dan tersenyum simpul sendiri?

Ini ada cerita skala kecil yang menggembirakan. Terkait budaya filantropi di masyarakat. Tidak hanya di kalangan masyarakat atas. Tapi, juga di kalangan masyarakat bawah di perdesaan. 

Dari cerita inilah, saya punya keyakinan besar: Tak akan pernah ada orang kelaparan di Indonesia. Sepanjang kultur filantropi terus bertahan. Dan saya percaya kultur itu akan terus berkembang.

Filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia. Ngugemi nili-nilai kemanusiaan. Budaya filantropi di sini saya maksudkan sebagai nilai yang menganggap menyumbangkan waktu, uang, dan tenaga untuk orang lain sebagai kebiasaan.

Kemarin saya ke Blitar. Menyambangi desa, tempat saya dulu dilahirkan dan besar hingga SMA. Desa Gogodeso, Blitar, namanya. Desa perbatasan kota dan kabupaten tempat Bung Karno dimakamkan.

Di desa tersebut, keyakinan saya tentang itu tumbuh kembali. Mengapa? Di desa yang sedang transisi dari desa ke kota tersebut, kultur itu tumbuh dengan pesat. Mencengangkan.

Bayangkan. Hanya dalam satu dusun kecil, dalam seminggu bisa mengumpulkan dana Rp 40 juta. Itu dana sumbangan. Bukan iuran wajib.  Bukan dengan paksaan.

”Setiap Muharam, warga dusun sini sudah siap-siap untuk memberikan santunan. Dari yang berkecukupan sampai yang pas-pasan,” kata Bagus Putu Parto, salah seorang tokoh masyarakat di desa itu. 

Saya tidak tahu sejak kapan tradisi menyantuni anak yatim itu mulai berkembang. Terutama saat bulan Muharam atau tahun baru Hijriah. Yang pasti, ketika saya kecil, tradisi itu sudah berjalan.

Hanya, saat itu pengumpulan dana untuk penyantunan masih agak susah. Sebab, ekonomi masyarakat desa belum berkembang seperti sekarang. Baru sedikit kaum mampu di desa.

Sering kali pengumpulan dana untuk santunan harus mengerahkan diaspora desa. Warga yang telah berhasil di perantauan. Baik yang menjadi pekerja migran maupun pegawai negeri. Atau pekerja swasta yang sukses di luar daerah.

Kini desa tak perlu uluran tangan mereka. Hanya mengandalkan warga dusun setempat, dana terkumpul dengan cepat. ”Padahal, di dusun ini hanya ada 16 anak yatim. Sehingga, pembagiannya jadi besar,” tambah Bagus yang seniman dan pengusaha itu.

Yang menarik, panitia santunan anak yatim tak berani sedikit pun mengambil dana yang terkumpul. Bahkan, untuk biaya fotokopi dan lainnya. Dana yang terkumpul murni untuk diberikan mereka yang telah kehilangan orang tua di usia sebelum balig atau dewasa.

Sumber:

Berita Terkait