Budaya Filantropi

Budaya Filantropi

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

”Dan, di sini para penderma tidak takut dana yang terkumpul diselewengkan. Bahkan, oleh saudara atau keluarga yatim yang jadi penerimanya. Sebab, mereka juga dekat dan bertetangga. Seperti ada pengawasan melekat,” tuturnya. 

Sejak dulu, budaya filantropi itu sudah berkembang. Hanya bentuknya bukan uang. Melainkan barang. Atau hasil pertanian yang menjadi penghasilan pokok warga desa. Setiap panen, mereka selalu berbagi ke tetangga.

Selain berbagi, mereka saling bertukar hasil panen satu sama lain. Rupanya, ketika komoditas pertanian makin terbatas, budaya filantropi dalam bentuk barang tersebut bergeser ke uang. Itulah yang membikin iuran untuk santunan yatim makin gampang.

Tidak hanya itu. 

Untuk keperluan pendidikan dan tempat ibadah, makin hari makin gampang untuk menggalang dana. Jika madrasah (sekolah) di desa itu punya gawe untuk pembelian lahan atau bangun kelas, sangat cepat sekali sumbangan dana masyarakat terkumpul.

Budaya filantropi itu seperti sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Kesadaran untuk saling membantu di antara mereka sangat besar. Apalagi jika terkait kepentingan agama atau ibadah sosial.

Sayang, di budaya filantropi itu masih ada yang menyelewengkan. Sehingga menjadi kasus yang bisa merusak kepercayaan warga terhadap program-program filantropis. Apalagi, memanfaatkan itu untuk kepentingan pribadi atau memperkaya diri.

Rasanya, budaya filantropis itu pula yang menjadikan bangsa ini tahan terhadap guncangan krisis. Bukan hanya karena kebijakan makroekonomi yang terkadang tak memperhitungkan warga desa yang hidup tak berlebihan.

Mereka tetap bederma. Tak peduli yang di kota sibuk dengan isu skandal apa saja. (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: