Arek Limo oleh Yoes, Anggi, Fathur, Rudy, dan Sentot (1); Berlima ’Meneror’ Sidoarjo
Lima pelukis Sidoarjo; Sentot Usdek, Yoes Wibowo, Anggi Heru, Fathur Rojib, dan Rudy Asri.--
Dari Rumah Budaya Malik Ibrahim Sidoarjo, Yoes Wibowo, Anggi Heru, Fathur Rojib, Rudy Asri, dan Sentot Usdek, tak cuma pamer karya. Tetapi ada ’teror’ positif yang hendak disampaikan kelimanya demi kemajuan Sidoarjo.
Soal seni rupa, Sidoarjo patut diperhitungkan. Namun wacana itu tak bisa hanya dilontarkan sebagai wacana. Publik harus tahu bagaimana rupa dari karya si senimannya. Atas dasar itulah Arek Limo digagas.
Sesuai namanya, Arek Limo bukan saja tajuk pameran. Tapi memang benar-benar menunjuk lima pelukis asal Sidoarjo. Yoes, Anggi, Fathur, Rudy, dan Sentot, tiba-tiba saja disatukan karena ingin menjawab tantangan dengan kondisi seni rupa Sidoarjo. Setidaknya pasca-pandemi.
Diawali dari keresahan bersama untuk meramaikan kesenian Sidoarjo selepas Covid. ”Kami ya prihatin karena semua orang menuju Surabaya atau kota-kota lain untuk menghadiri event-event seni. Padahal seniman Sidoarjo ya enggak kurang-kurang,” kata Yoes.
Caranya? Kelimanya berpikir bahwa seniman Sidoarjo sendirilah yang harus menyelenggarakan event-event tersebut dan digelar secara serius. ”Jadi kalau mau pameran seni rupa ya berkarya yang serius. Karena kami sering dikira enggak mau sungguh-sungguh. Padahal itu salah besar,” tambah Fathur.
Mengingat di Sidoarjo, maka pameran seni rupa itu harus benar-benar melibatkan perupa dari Sidoarjo, terutama. ”Setelah melalui proses yang tak ruwet-ruwet, akhirnya formasinya ketemu arek limo iki (orang lima ini, Red),” ujar Sentot.
”Ini pun terbentuk dengan apa adanya. Semula ada Ganda Dagar tetapi karena dia merasa belum siap, masuklah Anggi. Dia mewakili bentuk seni rupa new media. Sekaligus anak muda yang jadi jalan masuknya kami semua ke generasi milenial,” lanjut Rudy.
Maka arek limo itu bersama dalam Arek Limo sebagai tajuk pameran. Dipilih judul itu karena lebih menekankan egaliternya orang Sidoarjo yang lebih nyaman berbahasa daerahnya. ”Arek limo itu terdengar lebih nyidoarjo dan seperti inilah arek Sidoarjo kalau berkumpul berbuat sesuatu,” tegas Yoes.
Demi keseriusan, kelima perupa ini bersepakat untuk membuat karya dalam ukuran yang besar dan jumlah yang banyak. Patokan kuantitas itu disepakati sebagai bentuk kurasi yang menguji kualitas masing-masing. Inilah bagian dari ’teror’ yang disiapkan untuk menggairahkan Sidoarjo.
Dari Rumah Budaya Malik Ibrahim Sidoarjo inilah, Arek Limo ’meneror’ dengan karya.
Selama berkarya, rupanya persoalan tempat berpameran membuat mereka harus mau mengubah rencana. Semula ingin digelar di Dewan Kesenian Sidoarjo (Dekesda) Art Center, Jalan Erlangga Nomor 67, Celep, Sidoarjo.
Mengingat gedung pusat kesenian Sidoarjo itu punya poin tersendiri dalam dunia seni sekaligus menandai sebuah pameran yang berkualitas dari para seniman yang terlibat.
”Seperti perjalanan apa adanya kami menjadi berlima, ketika memutuskan pindah dari Dekesda Art Center ke Rumah Budaya Malik Ibrahim kami terima sebagai bagian langkah yang kami lalui untuk menjadi serius. Sudah biasa itu. The terror must go on istilahnya,” ungkap Yoes.
Di ruang pamer yang baru itu, ada ’persoalan’ baru menerpa. Misalnya dengan mengubah ukuran karya. Yoes pun 'terpaksa' harus memangkas karyanya menjadi lebih kecil demi menyesuaikan lokasi baru. ”Tadinya total panjang 10 meter ya harus dibuat lebih pendek 7,5 meter yang terbagi 4 panel. Untungnya karya Cak Rojib yang juga berukuran gede masih masuk ke venue baru,” papar Yoes.
Sebagai ’teror’, kehadiran Arek Limo sejak 6 Agustus itu akhirnya terselenggara dengan sebuah kesan yang menggebrak. Seperti teror positif -tentunya-, karya-karya kelimanya merebut perhatian pertama.
The Lust Rider, karya Fathur Rojib yang memasukkan figurnya sendiri sebagai pengendara babi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: