Napak Tilas Jalur Kuno Gunung Pawitra, Festival Penanggungan 2022: Bermalam di Tengah Hujan Deras (4)
KABUT TURUN dari lereng Gunung Pawitra saat tenda peserta pendakian sudah mulai berdiri. -Yusuf Dwi/Harian Disway-
Saya makin bersyukur ikut pendakian itu, di sana begitu banyak hal baru yang saya ketahui. Apalagi, sedikit demi sedikit mengetahui jejak peninggalan leluhur Nusantara begitu sarat akan makna.
Gerimis makin deras, Gunawan pun memberikan petuah terakhir dengan bahasa Latin untuk menutup acara tersebut. Kata itu diambil dari Cicero dalam karyanya yang berjudul De Oratore. Berbunyi, historia magistra vitae yang artinya sejarah adalah guru kehidupan.
Ia juga mengajak para peserta untuk mempelajari situs purbakala dari kacamata lain. Baginya, situs kuno bukan hanya milik anak sejarah, arkeolog, dan antropolog. ”Mungkin anak ekonomi bisa mempelajari perpajakan zaman dulu, yang anak sipil bisa mempelajari struktur bangunannya. Situs kuno itu milik kita semua,” ujarnya.
Setelah satu jam materi, hujan turun begitu deras. Kami membubarkan diri dan kembali ke tenda masing-masing. Besok, sebelum matahari terbit, kami kembali mendaki menuju puncak Pawitra. Artinya, saya punya waktu sekitar enam jam untuk tidur mengistirahatkan badan.
Sialnya, hujan disertai angin begitu kencang mengoyak-oyak tenda. Suara angin yang mendesis keras itu menggagalkan niat saya untuk tidur pulas. Mata tak bisa ditutup. Atap tenda terkoyak-koyak. Nyali jadi makin ciut.
Hal-hal tak menyenangkan yang saya pikirkan di rumah jadi kenyataan. Di luar, barang-barang terdengar seperti dijatuhkan angin. Tentu, sangat berisiko untuk memastikan semua itu.
Sambil rebahan dan ditemani permen, tiga jam berlalu untuk melewati kejadian tersebut dengan waswas. Akhirnya, saya bisa tidur setelah hujan mereda. Tentu, tak sesuai rencana awal, sisa waktu istirahat terhitung hanya tiga jam. (Yusuf Dwi-Salman Muhiddin)
Merah Putih di Puncak Pawitra. BACA BESOK (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: