Mijn Roots Mencari Orang Tua Kandung: Tak Lagi Bicara dengan Orang Tua Angkat (17)
Pertemuan pertama Olvi Jasinta dan keluarga besar dari Langowan. Terlihat sang ayah, Erens Mokalu memeluknyi pada 2001.-Dok Olvi Jasinta-
Di mata keluarga angkatnyi, Olvi dianggap sebagai anak beruntung yang bisa tumbuh dengan standar Eropa. Semua itu tak mungkin didapatkan di Indonesia. Sangat arogan.
—-
”I haven’t spoken to them anymore for the last two years (Aku tidak bicara dengan orang tua angkatku dua tahun terakhir, Red),” ujar Olvi Jasinta dalam Zoom meeting, Sabtu, 27 Agustus 2022, di Breda, Belanda.
Dia memang sempat marah atas semua hal yang terjadi padanyi. Olvi diculik saat masih belum genap dua setengah bulan. Fakta-fakta tentang adopsi juga disembunyikan. Dia diminta tak terlalu banyak bertanya tentang akarnyi: Indonesia.
Olvi berusaha menyampaikan semua kegundahan itu ke orang tua angkatnyi. Dia adalah anak adopsi dari negeri yang jauh. Dia punya hak untuk mengetahui asal-usulnyi. Siapa orang tua kandungnyi, juga tentang keluarga besarnyi di Langowan, Sulawesi Utara.
Sayang, keinginan itu selalu tertahan. Mereka tak memberi ruang bagi Olvi untuk menerangkan perasaannyi. Dia memang hidup kecukupan di Belanda, tetapi ada lubang kosong dalam hatinyi yang harus diisi.
Semua anak adopsi yang dikirim ke Belanda pada 1973–1983 merasakan sakit yang sama ketika dicabut secara paksa dari akarnya: Indonesia. Penderitaan yang dirasakan seumur hidup.
Olvi Jasinta dalam gendongan biarawati di dalam pesawat sebelum diadopsi ke Belanda.-Dok Olvi Jasinta-
Mereka mengabaikan salah satu hak asasi manusia: mengetahui identitas dan orang tua kandung mereka. Jadi, sangat manusiawi apabila anak-anak adopsi ingin mengunjungi tanah airnya sendiri.
Hubungan dengan orang tua angkatnyi makin retak ketika mereka melontarkan kalimat yang sangat menyakitkan. ”They said, you were the wrong child. I was a big disappointment. That’s very painful (Mereka bilang, kau adalah anak yang salah. Aku adalah kekecewaan besar. Itu sangat menyakitkan, Red),” lanjut perempuan kelahiran Langowan, 23 Oktober 1975, itu.
Olvi baru berusia 6 bulan ketika diterbangkan ke Belanda pada 1976. Orang tua angkatnyi belum punya anak ketika proses adopsi berlangsung.
Tak lama berselang, mereka akhirnya memiliki dua putra kandung. Mereka jadi saudara tiri Olvi. Sejak kecil, Olvi sudah tahu bahwa dirinyi anak angkat. Dua saudara tirinyi memiliki rambut pirang dengan iris mata biru. Pun demikian dengan sebayanyi di sekolah.
Sementara itu, Olvi memiliki iris mata cokelat dan rambut hitam. Kulitnyi memang putih, tapi tetap tak sama dengan kulit orang Eropa.
Dia sering kali mendapatkan perundungan dan perlakuan rasis dari teman sebaya. ”When I was a kid, other kids told me to go back to my country. Kind of arrogant. I don’t know why. (Ketika aku masih kecil, anak-anak lain menyuruhku kembali ke negaraku. Sangat angkuh. Aku tak tahu mengapa, Red),” lanjut bungsu di antara empat bersaudara itu.
Olvi Jasinta liburan di Belanda usai pulkam ke Indonesia.-Dok Olvi Jasinta-
Penting untuk mengetahui kondisi sosial politik kala itu. Supremasi Eropa masih sangat kental. Apalagi, mereka cuma menganggap Indonesia sebagai bekas negara koloninya. Sikap bahwa mereka adalah ras paling unggul di bumi mendarah daging hingga ke anak-anak mereka.
Coba perhatikan pembagian peta benua. Apa yang menjadi patokannya? Jika patokannya adalah daratan, seharusnya Eropa dan Asia berada di satu benua: Euroasia.
Namun, bangsa Eropa tidak mau disamakan dengan Asia. Mereka merasa lebih superior. Harus ada pembeda.
Jika patokannya ras, mengapa Amerika Serikat dan Australia tidak dianggap sebagai benua Eropa? Atau, mengapa ras Timur Tengah yang juga tinggi dan putih tidak dimasukkan ke golongan Eropa?
Demikian juga dengan ras dari Asia Timur atau Asia Tenggara. Secara fisik dan bahasa, semuanya punya perbedaan mendalam. Seharusnya wilayah itu juga dipecah menjadi benua tersendiri. Nyatanya, berbagai ras itu dikelompokkan di satu Benua Asia.
Ironisnya, pandangan yang tidak konsisten tersebut masih diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pembagian benua tersebut masih berlaku sampai sekarang.
Bisa dibayangkan, bagaimana 3.040 anak-anak adopsi hidup dalam situasi itu. Beberapa anak adopsi juga di-bully. Anak-anak Eropa memperagakan gerakan dan suara seekor monyet ketika melihat anak-anak dari Indonesia atau negara lain.
Di saat yang sama, Olvi dituntut untuk merasa bersyukur akan kondisinyi. Tidak ada ruang sama sekali baginyi untuk mencari jati diri. Dia dianggap tak bisa memenuhi ekspektasi orang tua angkatnyi jika terus membangkang.
Olvi dipaksa mengabaikan pertanyaan yang selalu ada di benaknyi: Siapa diri saya? Gadis Belanda dari Indonesia atau gadis Indonesia yang tinggal di Belanda? (Salman Muhiddin)
Merasa Tak Diterima di Mana pun. BACA BESOK!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: