Karnaval dan Super-realitas

Karnaval dan Super-realitas

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

MESKI sudah masuk September, karnaval peringatan Hari Kemerdekaan RI masih berlangsung. Bahkan di sejumlah rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Tidak lagi hanya di tingkat kota.

Warga bersukacita. Menampilkan kreativitas dan segala ekspresinya. Mulai ibu-ibu dan anak-anak. Ada yang lebai. Ada yang biasa saja. Yang penting gembira bersama.

Rupanya, 17-an kali ini menjadi katalis warga setelah dua tahun terkungkung akibat pandemi Covid-19. Mereka ingin meluapkan rasa merdekanya dari pandemi. Bersamaan dengan kemerdekaan RI.

Membuat karnaval 17-an bukan soal sederhana. Juga butuh biaya. Apalagi, melibatkan seluruh warga. Masing-masing berkelompok dengan kostum dan aksesori yang berwarna-warni. Belum lagi kalau mereka menggunakan peralatan.

Rata-rata per kelompok peserta menggunakan sound system selain kostum warna-warni. Anak-anak muda, bapak-bapak, dan ibu-ibu bergoyang. Dipersatukan dengan musik yang membahana. Pilihannya tentu musik dangdut ataupun campursari.

Karnaval 17-an kini telah menjadi pesta bagi semua orang. Bahkan sampai di pelosok kampung dan desa. Ia menjadi ekspresi kekompakan dan kesamaan warga. Pesta setelah merdeka dari pandemi.

Soal BBM naik, mereka tak peduli. Dalam benaknya, itu bisa dipikir besok-besok. Yang penting, sekarang gembira dan riang. Keliling kampung dan dilanjut dengan pesta elekton di panggung yang menutup jalan.

Berbeda dengan di dunia maya. Hari itu ekspresi kegembiraan kemerdekaan RI sudah tidak ada. Yang muncul adalah gaduh kenaikan BBM bersubsidi. Antara para pendukung Presiden Jokowi dan kelompok oposisi.

Yang kalau dicermati, orangnya ya itu-itu saja. Baik yang di pihak pemerintah maupun di pihak penentangnya. Kalau ada yang berbeda, itu adalah pengikutnya. Ada pengikut lama dan ada pengikut baru. Ada pengikut kritis dan ada pengikut buta. Ada juga pengikut robot.

Bagi warga maya, dunia seakan tidak ada damainya. Antarkelompok saling caci, saling cibir, dan saling menebar benci. Tentu dengan bermacam-macam narasi. Tak peduli mereka pernah menikmati privilese dari negeri ini.

Jagat maya hasil revolusi teknologi makin menunjukkan sisi pedang bermata dua. Seperti tesis Agus Sudibyo dalam buku Tarung Digital yang menjadi bagian dari Trilogi Literasi Digital karangannya.

Menurutnya, perkembangan pesat jagat digital menimbulkan dilema. Di satu pihak, digitalisasi membuat hidup lebih dinamis, mudah, dan penuh dengan warna-warni. Ia bisa mendorong perubahan lebih cepat. Juga, menjadikan semua orang dengan gampang menambah ilmu pengetahuan.

Tak hanya itu. Digitalisasi memperluas jaringan, memperlebar wawasan, dan menjadikan manusia yang dulu terpisah jauh menjadi makin dekat. Perkawanan yang dulu sempat terpisah karena ruang menjadi tersambung kembali akibat lahirnya sejumlah platform media sosial.

Namun, di sisi lain –kata pengamat media yang juga mantan anggota Dewan Pers itu– digitalisasi juga melahirkan marabahaya baru bagi umat manusia. Digitalisasi juga melahirkan benih-benih yang menggerogoti sendi-sendi kebersamaan dan demokrasi tanpa terkendali.

Menurutnya, penggunaan platform media sosial untuk kampanye politik telah melahirkan keterbelahan masyarakat yang makin akut di Amerika Serikat. Negeri yang selama ini dikenal sebagai kampiun demokrasi dan mendeklarasikan diri sebagai negeri warganya paling rasional di muka bumi.

Fanatisme kelompok justru makin subur akibat penggunaan platform media sosial dalam praktik politik mereka. Hal sama juga menggerogoti negara-negara dengan tradisi demokrasi yang telah terbangun lama di Eropa. Fanatisme yang dulu hanya terjadi di dalam negara yang tingkat pendidikan warganya masih terbelakang.

Pada akhirnya, digitalisasi melahirkan super-realitas yang menjadikan jagat maya sebagai ajang propaganda yang memungkinkan realitas buatan dibuat oleh aktor-aktor politik yang berkepentingan. Media sosial di satu sisi menciptakan kerekatan baru antarmanusia, tapi juga menciptakan ketegangan baru karena sifatnya yang super-realitas.

Namun, apakah sisi tajam yang nggegirisi itu akan juga mengancam sendi-sendi kebersamaan dan demokrasi di Indonesia? Bisa saja hal tersebut terjadi ketika aktor-aktor jahat menguasai algoritma dan konten jagat maya. Apalagi, ditambah dengan penggunaan politik identitas dalam praktik perebutan kekuasaan.

Namun, sisi bahaya super-realitas dalam digitalisasi akan berkurang sepanjang komunalitas yang menjadi basis kebersamaan di negeri ini tetap terjaga. Dengan komunalitas itu, super-realitas yang bisa melahirkan kebencian antara kelompok dan golongan bisa tereduksi melalui realitas sosial dan faktual yang ada.

Kegembiraan, keceriaan, dan kebersamaan dalam karnaval 17-an terbukti bisa melupakan sejenak kebijakan kenaikan BBM yang baru saja diambil. Juga, mengalihkan perhatian dari pertarungan narasi antara mereka yang setuju dan tidak setuju subsidi BBM dicabut pemerintah.

Yang penting lagi, tidak terus didengungkan kebencian dan perbedaan-perbedaan. Seperti kata lagu yang baru saja dinyanyikan viral oleh Farel Prayogo: Ojo Dibanding-bandingke! (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: