Target Simsalabim

Target Simsalabim

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

MIN, tahu gak? Di saat rakyat kebanyakan pusing tujuh keliling karena harga Pertalite dan Pertamax naik, kenapa ya sepak bola kita seperti berada di menara gading? Padahal, sepak bola adalah matahari hiburan rakyat. 

Disebut menara gading karena mayoritas pemain sepak bola kita berasal dari masyarakat not the haves. Tahu sendiri kan. Mana mungkin anak orang gedongan mau jadi kiper. Mana ada anak menteri atau anak pejabat tinggi jadi bek atau gelandang. Mana mau anak pecatan Kadivpropam Polri Irjen Ferdy Sambo jadi striker. Dunia bisa terbalik tuh. Kalaupun ada, anak presiden dan anak menteri itu jadi pengelola klub. 

Sepak bola Indonesia setali tiga uang dengan Tiongkok. Tidak maju-maju. Prestasinya tidak cuma jalan di tempat, tetapi mundur jauh entah ke zaman Ganefo dulu. Sudah lebih dari satu dekade Tiongkok memberikan bayaran gila-gilaan kepada pemain top dunia, tetapi prestasi tim nasionalnya begitu-begitu saja. Lolos ke Piala Asia saja susah. Bagaimana bisa lolos ke Piala Dunia. Beda dengan Korea Selatan dan Jepang yang kini timnasnya sudah setara Eropa dan Amerika Latin. 

Seorang anak tetangga sempat teriak-teriak akhir pekan lalu. Katanya, Pertalite naik. Pertamax naik. Harga barang-barang di pasar naik. Harga nasi bungkus naik. Gaji pemain bola dan pelatihnya naik, kenapa prestasi tim nasional kita tidak naik-naik, ya. 

Lihat saja Persija Jakarta yang bisa mendatangkan pemain-pemain hebat dari Eropa Timur. Bahkan, pelatih Persija Thomas Doll adalah eks tim nasional Der Panzer, Jerman. Terakhir Persib Bandung malah mendatangkan eks pelatih nasional Luis Milla. Di timnas dulu, gajinya Rp 2 miliar per bulan, tentu gajinya sekarang tidak beda jauh dari itu. ”Itu semua uang ya, Min,” sahut tetangga itu. 

Dunia kita borderless. Tanpa batas. Tanpa sekat. Namun, coba arahkan pandangan sejenak ke Inggris. Klub-klub Premier League bisa menghabiskan uang GBP 2 miliar di bursa transfer musim panas 2022. Kalau dirupiahkan, bisa bikin melongo. GBP 2 miliar setara Rp 34,47 triliun. Jumlah itu ekuivalen dengan tiga kali lipat ABPD Surabaya 2022 yang Rp 10,3 triliun. Hikzzz.

Dengan dana kompetisi liga yang superjumbo itu saja, prestasi Inggris masih besar pasak daripada tiang. Inggris baru sekali juara dunia pada 1966. Prestasi terbaiknya setelah itu adalah runner-up Piala Dunia Rusia 2018.

Sepak bola Indonesia mungkin baik untuk Matheus Pato, David da Silva, Lulinha, dan Gustavo Tonkantins, top skor sementara Liga 1 Indonesia. Mereka membuat persaingan makin ketat, sengit, dan keras. Sepak bola adalah tentang komunitas, kebanggaan, dan rasa memiliki. 

Tetapi, ini juga tentang orang-orang yang sangat kaya yang berinvestasi dalam industri yang menghibur kelas pekerja. Proletar. Marginal. Orang pinggiran. Kalau sepak bola adalah perusahaan publik, tentu ia akan masuk sektor hiburan. Orang menonton sepak bola biar terhibur. Puas. 

Dan tidak ada yang berubah. Kecuali sekarang ada gerakan untuk mengubah sepak bola menjadi cabang akuntansi, membungkusnya dengan birokrasi dan peraturan pemerintah. Seolah-olah neraca yang rapi adalah tujuannya. Bukan kemuliaan. Bukan kesenangan.

Jadi, bagaimana reaksi kita terhadap pengeluaran sepak bola Liga Indonesia, terutama Persija dan Persib Bandung?

Menurut saya, sepak bola Indonesia perlu diturunkan lagi ke bumi. Sudahlah. Jangan terus-terusan berada di menara gading sana. Itu tidak realistis. Semu. 

Eks pelatih timnas Indonesia Luis Milla yang kini menangani Persib Bandung mungkin sudah tahu banyak peta sepak bola Indonesia. Lebih banyak minusnya daripada plusnya. Tetapi, tidak dengan Thomas Doll. Doll seperti membaca peta buta. Doll adalah new comer. Ia pendatanga baru yang benar-benar awam. Doll heran kenapa pemain harus berlama-lama training center di timnas. Karena itu, sebagian pemain Persija yang dipanggil ke timnas U-19 ”ditahan”. 

Doll tidak tahu bahwa standar timnas di Indonesia itu tidak sama dengan Eropa. Perbedaannya seperti bumi dan langit, siang dan malam, hujan dan panas. Semuanya sangat paradoksal. Doll tidak tahu bahwa label timnas di sini masih sering keseleo untuk dua urusan vital. Kontrolnya sering tidak sempurna. Passing-nya acap kali salah alamat. Visi buruk. 

Sumber: