Galung Wiratmaja dalam Ya’tra Art di Mola Art Gallery; Alam adalah Art Space
Dua karya Galung Wiratmaja yang terpajang di dinding Mola Art Gallery Cimahi. Sebelah kiri berjudul Mountain Nature.--
CIMAHI, HARIAN DISWAY - Berpameran bersama empat pelukis Bali lainnya -I Made Duatmika, I Made Romi Sukadana, Made Wiradana, dan Putu Sudiana- di Mola Art Gallery, Galung Wiratmaja menuntaskan salah satu ya’tranya di sana dengan karya-karya yang maksimal.
Pameran yang baru saja diikutinya di galeri milik perupa Mola itu membuat Galung bungah. Berada di Cimahi, galeri itu dekat dengan Bandung, kota penting yang telah melahirkan perupa-perupa besar.
”Dalam peta seni rupa nasional, Bandung tak dapat dilewatkan begitu saja. Cimahi juga wajah Bandung secara umum. Karena itu saya antusias sekali ketika ditawari berpameran oleh Mbak Mola di galerinya. Sebab buat saya inilah salah satu bentuk ya’tra yang tercapai,” ungkapnya.
Galung Wiratmaja berbincang dengan Mola –owner dan founder Mola Art Gallery- (kiri) serta Dr Willy Himawan SSn MSn setelah pembukaan pameran.
Merujuk judul pameran, ya’tra merupakan proses atau bagian dari perjalanan seseorang. Menuju cita-cita, pencapaian spiritual dan lain sebagainya. Dalam melukis pun para perupa perlu menempuh ya’tranya masing-masing untuk menemukan jati diri.
”Ya’tra itu karakter karya atau capaian estetik. Ya’tra juga semacam proses ziarah. Apalagi dalam pameran di Mola Art Gallery, kami berliam juga menziarahi Bandung sebagai kota besar seni rupa tanah air,” terang pria 50 tahun itu, semangat.
Sebagaimana makna ya’tra, Galung mengalami proses panjang dalam berkesenian. Secara konsep, ia mengikuti kata hati. Kadang objek atau tema lukisan baru didapat ketika ia melukis. ”Tak terasa. Seperti air begitu. Ngalir. Meski idealnya seniman punya cara, strategi dan teknik melukis masing-masing, saya lebih kompromistis,” ungkapnya.
Green Narrative
Bukan dalam hal membuat karya, apakah menuruti selera pasar atau tidak. Soal itu malah Galung sangat idealis. Ia jarang menerima pesanan lukisan yang tak sesuai dengan karakter atau gaya melukisnya. ”Kalau mau pesan lukisan ke saya, mau tidak mau harus sesuai dengan gaya saya,” ujarnya, disambut tawa.
Kompromistis ala Galung lebih pada proses penyampaian. Ia cenderung memberi tawaran interpretasi yang tak terlalu rumit.
Seperti halnya ketika penikmat coba memahami lukisan abstrak atau kontemporer. ”Saya ingin penikmat lebih dekat dengan karya saya. Ada interaksi dengan lukisan,” ujarnya.
Kesan membawa pengunjung ke dalam lukisan ada pada figur-figur dalam The Light of Green, Green Narrative atau People of The Past. Semua sosok selalu membelakangi penikmat.
Melalui citraan seperti itu, ditambah dengan visual yang berkisah, baik tentang alam atau aktivitas-aktivitas yang melibatkan orang banyak, maka posisi itu akan membawa penikmat seolah berada di tengah kerumunan.
Objek-objek alam, misalnya, lahir begitu saja saat ia melukis. Menggoreskan warna-warna hijau dengan sentuhan impresif. Gerak tangannya mengalun, menciptakan ritme yang membentuk citraan alam. ”Setelah mulai ketemu dasar objeknya, saya perkuat lagi. Membentuk gunung, sungai, pepohonan, dan sebagainya,” ungkapnya.
Galung lebih banyak berkutat pada lansekap karena sekian lama ia menekuni seni rupa lansekap. Sempat mencoba abstrak ekspresionisme.
Dua karya Galung Wiratmaja berjudul Abstract Eruption (kiri) dan In The Art Space #2.
Melalui alam, Galung membawa penikmat merasakan impresi hijau. Gambaran gunung yang kokoh bahkan gunung berapi yang meletus. Bersama figur-figur khasnya, ia menyampaikan bahwa alam dan segala isinya adalah faktor penting sebagai penopang kehidupan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: