Putu Bonuz Sudiana dalam Ya’tra Art di Mola Art Gallery; Mencapai Taksu yang Memancar Aura

Putu Bonuz Sudiana dalam Ya’tra Art di Mola Art Gallery; Mencapai Taksu yang Memancar Aura

Putu Bonuz Sudiana dengan salah satu karyanya dalam seri Sky Rhytm –Sky Rhytm #3- untuk pameran Ya’tra Art di Mola Art Gallery. --

”Perjalanan ya’tra menuntun Yudhistira untuk senantiasa tegar. Menjawab pertanyaan Dewa Yama dengan lugas, serta hanya bersedia pergi ke surga jika anjing yang menyertainya selama perjalanan ikut dibawa,” terangnya. ”Kepedulian terhadap mahluk lain pun merupakan bentuk kebijaksanaan, dan itulah yang membawanya ke surge,” lanjutnya.

Lewat gaya abstrak ekspresionisme, Bonuz memaknai energi laut dan gunung. Warna hitam dan biru merupakan perlambang keduanya. Unsur air dalam lautan adalah hitam. Sedangkan unsur gunung adalah biru.

Warna putih dapat disebut penanda unsur garam. Sedangkan warna lain merupakan sisi asam. ”Asam-garam. Gabungan antara gunung dan laut. Asam dari gunung, garam dari laut. Itu seperti gambaran mencapai sesuatu,” terang owner studio seni 8 Bulan, di Batubulan, Bali.

Maka dalam abstrak ekspresionis -bagi Bonuz- karyanya tak sekadar visualisasi emosi semata. Namun penghayatan atas bentuk absurd energi atau alam spiritual. ”Semua itu tak tergambarkan oleh visual yang berwujud. Seperti gambaran kekuatan gunung. Di balik keheningan, ia bisa sangat berbahaya apabila meletus kan,” ujar perupa 49 tahun itu. 

Begitu pun kekuatan laut. Tampak pada permukaan begitu riuh. Namun semakin dalam semakin hening. Lewat abstrak, Bonuz memaknai sifat-sifat alam yang tak terlukiskan oleh gambar berbentuk. Sebagian sebagaimana dalam Naga Pasha dan Naga Laut.
Naga Laut

Tak hanya dalam karya, sifat-sifat alam itu -menurut Bonuz- juga telah membentuk karakternya. Meledak-ledaknya ia dalam karya dan pribadinya sesuangguhnya didapat karena latar belakang lingkungan. 

”Saya lahir di pulau kecil Nusa Penida. Lingkungan pantai dengan cuaca panas dan tebing-tebing karang yang menjulang, mengendap dalam alam bawah sadarnya. Mungkin itu saya suka terang-terangan dalam berbicara. Ekspresif banget. Hingga terbawa dalam karya,” katanya. 

Tapi dalam melukis, Bonuz berusaha menciptakan ketenangan. Sebab melukis adalah ya’tra-nya untuk mencapai hasil yang diinginkan. ”Makanya kalau lagi suntuk, saya ambil gitar. Nyanyi-nyanyi sambil melihat bintang. Setelah itu kadang saya mendapatkan gairah lagi. Nada, irama adalah sama dengan warna dan garis. Komposisi musik sama dengan komposisi lukisan,” ujarnya.
Naga Pasha

Dari pengalamannya itu, Bonuz menyimpulkan bahwa saat berkarya ternyata 88 persennya ia menggunakan hati. Sisanya hanya 12 persen menggunakan pikiran. Tak heran karena Bonuz menganggap melukis adalah sarana meditatif bagi setiap perupa. 

”Kanvas, pahat, tanah liat adalah ruang meditasi kita. Maka dalam melukis, seorang perupa akan fokus seperti menjalani ritual. Itulah mengapa saya anggap seniman itu spiritualis. Sebab ia selalu melakukan olah rasa,” ungkapnya. 

Pada akhirnya, jika ketika ya’tra melalui proses interaksi antara perupa dan imajinasi, maka sudah pasti karya yang lahir akan memiliki soul. ”Saya menyebutnya lukisan harus punya taksu yang memancarkan aura,” tandasnya. (*)

Sumber: