Transformasi Ekonomi Pesantren: Dari Ketergantungan ke Kemandirian

ILUSTRASI Transformasi Ekonomi Pesantren: Dari Ketergantungan ke Kemandirian.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
PESANTREN sejak lama memegang peran penting dalam membentuk fondasi moral, spiritual, dan intelektual umat Islam di Indonesia. Namun, di balik kekuatannya sebagai pusat pendidikan agama, tidak sedikit PESANTREN yang menjalani hidup dalam keterbatasan ekonomi.
Banyak yang bertahan hidup dengan menggantungkan operasional pada donasi masyarakat, infak alumni, atau bantuan insidental dari pemerintah dan lembaga sosial.
Dalam situasi seperti itu, pesantren tetap berdiri tegak, tapi sering kali dalam posisi yang rentan: tidak memiliki cadangan keuangan, tidak berdaya mengembangkan fasilitas pendidikan, dan minim akses terhadap pengembangan ekonomi yang berkelanjutan.
BACA JUGA:Bangunan Musala Pondok Pesantren Al-Khoziny Ambruk: Human Error atau Takdir?
BACA JUGA:Robohnya Pesantren Kami
REALITAS KETERGANTUNGAN DAN EKONOMI SUBSISTEM
Sebelum kehadiran Program One Pesantren One Product (OPOP), potret umum pesantren di Jawa Timur mencerminkan situasi yang seragam: keterbatasan dana operasional, keterbatasan fasilitas penunjang pembelajaran, dan pengelolaan ekonomi yang bersifat informal atau subsistem.
Jika pun ada aktivitas ekonomi, umumnya hanya berskala sangat kecil: toko kelontong sederhana di dalam kompleks pesantren, usaha laundry untuk kebutuhan internal, atau pertanian seadanya di lahan wakaf. Pendapatan dari kegiatan itu jarang mampu menopang seluruh kebutuhan pesantren.
Akibatnya, kegiatan pendidikan harus dijalankan dengan segala keterbatasan: asrama seadanya, makan santri dengan menu minimal, gaji guru honorer yang tertunda, hingga ketiadaan dana untuk kegiatan ekstrakurikuler.
BACA JUGA:Apakah Pesantren Masih Punya Tempat di Hati Generasi Alpha?
BACA JUGA:Transformasi Kemandirian Ekonomi Pesantren
Para santri, meski telah terdidik secara spiritual dan intelektual, jarang memiliki akses terhadap keterampilan hidup dan pelatihan kewirausahaan. Pesantren belum melihat pentingnya membekali santri dengan kemampuan ekonomi sebagai bagian dari proses pendidikan.
Alhasil, lulusan pesantren cenderung menjadi pencari kerja di sektor informal atau kembali ke desa tanpa landasan ekonomi yang kuat. Keberdayaan ekonomi menjadi titik lemah dari sistem pesantren.
Di sisi lain, masyarakat sekitar pesantren pun tidak terlalu terlibat dalam kehidupan ekonomi pesantren. Mereka menganggap pesantren sebagai institusi eksklusif, tempat menimba ilmu agama, tetapi bukan mitra ekonomi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: