Transformasi Ekonomi Pesantren: Dari Ketergantungan ke Kemandirian

Transformasi Ekonomi Pesantren: Dari Ketergantungan ke Kemandirian

ILUSTRASI Transformasi Ekonomi Pesantren: Dari Ketergantungan ke Kemandirian.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BACA JUGA:Potensi Besar Pesantren dan Kaum Santri (1): Sumber Inspirasi Dunia

 BACA JUGA:Potensi Besar Pesantren dan Kaum Santri (2-Habis): Motor Pembangunan Ekonomi

Hubungan antara pesantren dan komunitas sekitar berjalan dalam konteks sosial-religius, belum saling menguatkan dalam konteks ekonomi produktif.

TRANSFORMASI OLEH OPOP: DARI KETERGANTUNGAN KE KEMANDIRIAN

Kehadiran program OPOP yang diinisasi oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengubah lanskap itu secara perlahan tetapi signifikan. 

Dalam waktu kurang dari lima tahun, program tersebut membangun paradigma baru dalam dunia pesantren: bahwa pesantren tidak hanya bisa menjadi pusat ilmu, tetapi juga pusat ekonomi umat; bahwa santri tidak hanya bisa menjadi pendakwah, tetapi juga pengusaha; dan bahwa masyarakat sekitar bukan hanya penerima manfaat pasif, melainkan juga aktor penting dalam jaringan usaha pesantren.

BACA JUGA:Prabowo Instruksikan Evaluasi Menyeluruh Bangunan Pesantren Usai Tragedi Al-Khoziny

BACA JUGA:Keluarga Korban Musala Ambruk Al-Khoziny Tolak Santunan, Pilih Ridho Pesantren dan Kiai

Dampak pertama yang paling terasa adalah meningkatnya kemandirian finansial pesantren. Banyak pesantren yang sebelumnya mengandalkan infak kini memiliki unit usaha aktif yang menopang kegiatan harian pesantren. 

Pesantren di Jombang, misalnya, mampu menanggung seluruh kebutuhan dapur santri dari hasil produksi roti dan kateringnya. Laba bersih per bulan mencapai puluhan juta rupiah. 

Dari keuntungan itu, pesantren bisa menggaji guru dengan layak, membiayai kegiatan pembelajaran tambahan, dan bahkan menabung untuk renovasi asrama.

Di pesantren lain, dampaknya terlihat dalam semangat kewirausahaan santri. Santri tidak lagi hanya belajar di kelas dan pondok, tetapi juga turun langsung mengelola produksi, pemasaran, dan administrasi usaha. 

Mereka belajar membuat kemasan produk, memasarkan melalui media sosial, bahkan merancang logo dan strategi promosi. Dari sana, muncul generasi santri baru yang melek digital, berpikir inovatif, dan berani bermimpi membangun usaha sendiri. 

Santri tidak lagi merasa inferior secara ekonomi, tetapi percaya diri menjadi pelaku usaha yang beretika.

Transformasi juga terjadi di sisi pengelolaan kelembagaan. Pesantren kini mulai memahami pentingnya legalitas usaha, akuntabilitas keuangan, dan sistem manajemen yang efisien. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: