Apakah Pesantren Masih Punya Tempat di Hati Generasi Alpha?

Apakah Pesantren Masih Punya Tempat di Hati Generasi Alpha?

KH Solehuddin Mahfud (Ponpes Saadatud Daroini Singopadu) bersama penulis, Mochammad Noval El Rojwan di pondok pada 2012.-Dok Pribadi-Dok Pribadi

Pondok pesantren, sebagai institusi pendidikan tertua di Indonesia, kini menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan dengan generasi alpha (kelahiran 2010-2024). Di tengah perubahan zaman yang begitu cepat, muncul pertanyaan kritis: Masih relevankah mondok di tahun 2025?

Era digital dan globalisasi telah membawa transformasi besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Teknologi informasi yang semakin canggih, akses internet yang meluas, serta tuntutan keterampilan abad ke-21 membuat cara belajar dan beradaptasi dengan dunia modern menjadi sangat berbeda dibandingkan beberapa dekade lalu.

Di tengah dinamika ini, pondok pesantren tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu agama, tetapi juga wadah pembentukan karakter dan akhlak. Namun, apakah sistem pendidikan tradisional yang telah ada selama berabad-abad masih sesuai dengan kebutuhan generasi muda saat ini?

Apakah model pembelajaran yang sering kali bersifat eksklusif dan kurang terbuka terhadap dunia luar mampu menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks?

Inilah saatnya bagi pesantren untuk menjawab tantangan zaman dengan langkah-langkah progresif, tanpa kehilangan jati dirinya sebagai institusi pendidikan yang sarat makna dan nilai.

BACA JUGA:Kemenag Terbitkan Peraturan Pencegahan Tindak Kekerasan di Pesantren

BACA JUGA:Kemenag Terbitkan Panduan Makan Gratis di Pesantren: Sebelum Makam Wajib Berdoa dan Ambil Wudhu

Niat Mondok: Antara Orang Tua dan Santri

Saya jadi teringat dengan ucapan Mbah Kiai Solehuddin Mahfud pengasuh Pondok Pesantren Saadatud Daroini Singopadu Tulangan Sidoarjo.

"Aku nangis nek onok arek pinter gak dipondokno wong tuane (Aku menangis kalau ada anak pinter tidak dipondokkan,Red)," katanya saat saya masih nyantri di Tulangan.

Ada pandangan yang cukup mengkhawatirkan bahwa sebagian pesantren kerap dijadikan solusi oleh orang tua untuk "membuang" anak-anak yang bermasalah atau tidak diterima di sekolah umum.

Padahal, pesantren sejatinya adalah tempat bagi individu yang ingin mendalami ilmu agama dan dunia dengan serius.

Jika anak yang dikirim ke pesantren tidak memiliki motivasi atau niat belajar, hal ini justru akan merugikan lingkungan pesantren itu sendiri. Apalagi generasi alpha saat ini menghadapi tantangan zaman yang serba internet.

Bisa jadi alasan ogah mondoknya hal sepele: jauh dari HP. Mereka tak tahu bahwa bahwa anak-anak pondok sudah canggih-canggih. Jangan dipikir di pondok tidak ada internet.

Bahkan di pondok, softskill santri diasah. Mereka punya kemampuan fotografi, edit video, desainer grafis, hingga utusan IT mereka yang pegang.

Kini, yang harus dibenahi bukan hanya niat anak-anak, tetapi juga niat para orang tua.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: