Kutukan Persebaya

Kutukan Persebaya

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Sampai hadirlah Azrul Ananda –saat itu masih Presdir Jawa Pos– menjadi penyelamat Persebaya. Tangan dinginnya mengangkat Persebaya ikut kompetisi kasta tertinggi. Bahkan, dalam kompetisi lalu masuk 5 besar. Itu terjadi di masa sulit setelah pendemi Covid melanda seluruh penjuru bumi.

Rupanya ”kutukan” kembali mendera Persebaya. Di awal musim, Persebaya mencatatkan prestasi yang kurang menggembirakan. Sampai kemudian timbul kerusuhan saat Persebaya menjamu RANS Nusantara di Sidoarjo. Setelah itu, Azrul Ananda mundur.

Mundurnya Azrul membongkar ketidakjelasan struktur kepemilikan Persebaya. Azrul yang di awal mengeluarkan uang Rp 7,5 miliar kepada Koperasi Surya Abadi –sekarang pemilik 90 persen saham PT PI. Lha, yang 10 persen milik siapa, ya?– ternyata dianggap hanya pengelola.

Ia bukan pemilik 70 persen saham yang selama ini digembar-gemborkan. Lantas, apa status dana Rp 7,5 M itu? Setoran modal atau hibah kepada klub-klub internal Persebaya? Lantas, apa kewajiban pemilik saham minoritas selama ini?

Tampaknya, ketidakjelasan struktur dan status saham di PT PI itulah yang menjadi sumber kutukan baru Persebaya. Saya menjadi paham mengapa Azrul mundur dari Persebaya. Sebab, ia harus bertanggung jawab kepada semua kewajiban perusahaan atau klub, tapi tidak berhak atas kepemilikan sahamnya.

Rasanya, penawar kutukan agar Persebaya ke depan punya masa depan adalah memperbaiki struktur dan status kepemilikan saham ini. Tanpa itu, sangat susah untuk menjamin keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang.

Juga, akan susah mencari profesional yang mau berjibaku dengan perusahaan yang tidak jelas struktur maupun status sahamnya. Kecuali, ada orang gila yang kebingungan membuang duitnya yang berlimpah-limpah. 

Tentu agak sulit mencari orang gila terus-menerus. Atau, memang Persebaya harus tetap dalam lingkar ”kutukan” yang tak akan pernah berakhir? (*)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: