Kutukan Persebaya

Kutukan Persebaya

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

SAYA maju mundur untuk menulis yang satu ini. Tentang persoalan yang melanda kembali Persebaya. Klub sepak bola yang menjadi kebanggaan warga Surabaya.

Mengapa? 

Sebab, pasti saya tidak bisa seobjektif orang lain ketika ngomong Persebaya. Karena saya pernah terlibat di dalamnya. Karena saya pernah ketua umumnya. Semacam presiden klub sekarang. Karena saya pernah mundur dari jabatan itu.

Tapi, menelusuri perjalanan kurang dari dua dekade Bajol Ijo, ada hal menarik yang bisa dicermati. Apa itu? Siklus pergantian ketua umum atau presiden Persebaya 2,5 tahunan. Bagaimana hal itu bisa terjadi?

Setelah dipimpin Cak Narto, wali kota Surabaya 1,5 periode, klub bola kecintaan Bonek itu harus rela berganti-ganti pimpinan puncak. Lebih sering karena mengundurkan diri. Atau karena kisruh pengelolaan.

Mungkin ini hanya kebetulan. 

Tapi, bisa juga karena ekosistem yang menyelimutinya. Atau ini semacam kutukan yang belum mendapatkan penawarnya. Belum mendapatkan ”dukun” yang bisa melepaskan Persebaya dari kutukan pembawa sial itu.

Saya akan mulai dari tahun 1990-an. Saat itu ketua umum Persebaya selalu dijabat secara ex officio wali kota Surabaya. Dengan demikian, tahun itu, yang menjadi ketua umum Persebaya adalah Wali Kota Purnomo Kasidi.

Dulu kelompok strategis yang dengan gampang mencari dana besar untuk membiayai sepak bola ya pemerintah. Kepala daerah dan tentara. Karena itu, saat ketua umum Persebaya dipegang Pak Purnomo Kasidi, ketua hariannya dipegang Pak Imam Utomo. Saat itu ia Danrem yang kemudian menjadi Pangdam V/Brawijaya. 

Pada periode 1990-an tersebut, Persebaya sebagai salah satu klub persyarikatan sempat melejit. Saat manajer dipegang Pak Dahlan Iskan. Julukan Bajol Ijo muncul pada saat itu. Juga, mulai mencuatnya nama Bonek. Sering bikin heboh nasional dengan tret…tet…tet setiap kali main tandang. 

Pak Dahlan, dalam perjalanannya, pernah sukses menjadi manajer Persebaya. Ia kemudian tampil sebagai ketua harian Persebaya –menggantikan Pak Imam Utomo– di akhir masa jabatan Wali Kota Soenarto Soemoprawiro yang berhenti di tengah jalan. Lantas, wali kota beralih ke wakilnya: Pak Bambang D.H.

Entah kapan ”kutukan” siklus kisruh mulai berlangsung. Apakah sejak sebelum kepemimpinan klub dipegang Pak Dahlan Iskan atau sesudahnya? Yang pasti, pasca Pak Dahlan ”dipaksa” melepas jabatannya sebagai ketua harian, Persebaya sering dalam situasi tidak jenak.

Ketika Persebaya dikelola Pak Bambang D.H. sebagai ketua umum dan Pak Saleh Mukadar sebagai manajer, Persebaya sempat terdegradasi ke Divisi I. Setingkat Liga II sekarang. Saat itu strata tertinggi kompetisi disebut dengan Divisi Utama. Beliau berdua berhasil mengangkat Bajol Ijo ke kasta teratas. 

Sayang, posisi di kasta tertinggi kompetisi itu tak berlangsung sampai puncak. Sebab, Persebaya membuat kontroversi mundur dari delapan besar Divisi Utama di Jakarta. Keputusan kontroversi tersebut berbuah hukuman untuk klub dan semua pengurusnya. 

Sumber: