Kutukan Persebaya

Kutukan Persebaya

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

Saya yang waktu itu baru terpilih menjadi wakil Pak Bambang D.H. ketiban sampur. Saya diminta klub-klub anggota Persebaya yang berjumlah 30 untuk menjadi ketua umum. Dalam kondisi Persebaya tak boleh main selama dua tahun. Banyak pengurusnya yang dihukum.

Saya tidak bisa mengelak. Karena ini penugasan langsung dari Pak Wali Kota. Dengan jaminan, bantuan APBD masih tetap dikucurkan. Bismillah. Target utama Persebaya bisa ikut kompetisi lagi.

Setelah melobi PSSI, akhirnya Persebaya bisa main di tahun kompetisi 2005/2006 untuk Divisi I. Tahun pertama saya mendapat dukungan penuh semua klub. ”Mati urip nderek Pak Arif.” Ada yang bilang demikian.

Setelah menjadi juara Divisi I yang diwarnai kerusuhan suporter, Persebaya lantas bermain di strata teratas. Itulah final Divisi I yang unik. Dalam final melawan Persis Solo itu, kerusuhan pecah saat Persebaya sudah unggul. Bonek menyerbu lapangan saat pertandingan tinggal 5 menit.

Masa keemasan klub profesional dibiayai APBD pun berakhir. Pemerintah pusat melarang APBD digunakan untuk membiayai klub profesional. Itu awal dari upaya menjadikan sepak bola sebagai industri olahraga. 

Seseorang yang sangat berjasa atas penggunaan APBD untuk klub bola ini adalah Pak Saleh Mukadar. Posisi politisnya saat itu memungkinkan gagasan tersebut terlaksana di Surabaya. 

Setelah APBD dilarang untuk membiayai bola, sebagai ketua umum, saya harus memutar otak. Saya melontarkan gagasan membuat PT Persebaya. Bahkan, sudah menyiapkan business plan untuk menarik investor. 

Namun, gagasan itu ditolak klub-klub internal. Ada yang takut Persebaya pindah ke luar kota. Ada yang khawatir nanti saya ikut memiliki sahamnya.

Padahal, konsep kepemilikan yang saya ajukan cukup menarik. Sebab, harus ada kepemilikan Pemkot Surabaya meski hanya dalam bentuk saham goodwill. Saham pemberian tanpa setor modal. Selebihnya dimiliki investor dan suporter. 

Rupanya, saya gagal meyakinkan klub internal dan suporter. Akhirnya saya dimosi tidak percaya. Bahkan, sempat diundang dengar pendapat oleh anggota dewan di DPRD Kota Surabaya. Saya pun mengundurkan diri dalam posisi prestasi Persebaya sedang tidak dalam keadaan baik.

Setelah itu, saya tak pernah cawe-cawe lagi. 

Sampai kemudian, muncul dualisme Persebaya. Yakni, Persebaya yang kemudian dikenal sebagai Persebaya 1927 dan Persebaya hasil pembelian klub Mitra Kukar yang kini menjadi Bhayangkara United. 

Persebaya 1927 –karena regulasi– akhirnya mendirikan PT Persebaya Indonesia (PI). Inilah yang eksis hinggga sekarang. PT PI sebelum diambil alih Azrul Ananda –dengan skema apa pun– semula dimiliki Pak Saleh Mukadar, Cholid Ghoromah, dan 20 klub internal.

Ada 10 klub internal pendiri Persebaya yang tak ikut dalam rombongan pemilik Persebaya baru itu. Di antaranya, klub legendaris Assyabab, PSAD, Suryanaga, dan Mitra Surabaya. Mereka sebetulnya klub yang punya legitimasi sejarah kuat untuk menjadi pemilik Persebaya.

Eh, perlu dicatat pula, eksistensi Persebaya 1927 hingga kini juga merupakan jasa besar para Bonek. Suporter Bajol Ijo yang memperjuangkan Persebaya kembali bisa menjadi klub kebanggaan warga Surabaya. Sayang, mereka tak memiliki saham sama sekali.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: