Diskresi dan Korupsi: Dua Sisi Mata Uang yang Membahayakan

ILUSTRASI Diskresi dan Korupsi: Dua Sisi Mata Uang yang Membahayakan.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
KITA semua tahu, pejabat publik punya ”senjata rahasia” yang namanya diskresi. Apa itu diskresi? Menurut Pasal 1 ayat (9) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, diskresi adalah keputusan atau tindakan pejabat untuk mengatasi persoalan konkret ketika aturan hukum tidak jelas, tidak lengkap, atau bahkan tidak ada.
Bahasa sederhananya: ketika aturan macet, pejabat diberi kunci untuk membuka pintu alternatif.
Tujuan diskresi pun mulia. Pasal 22 ayat (2) undang-undang yang sama menyebutkan, diskresi dipakai untuk melancarkan roda pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberi kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi demi kepentingan umum.
BACA JUGA:Tersangka Korupsi Wamenaker Berharap Amnesti Prabowo: Kalau Hasto Bisa, Mengapa…
BACA JUGA:Korupsi Hakim, Subversi Negara Hukum, dan Penawaran Sistem Pidana Islam
Masalahnya, kata Susan Rose-Ackerman, pakar korupsi dari Yale University, diskresi yang tidak jelas adalah ladang subur bagi perilaku koruptif (Corruption and Government, 1999).
Di banyak negara berkembang, diskresi bahkan berubah menjadi dalih untuk menabrak aturan, bukan lagi untuk tujuan mengisi kekosongan.
DISKRESI BUKAN BLANGKO KOSONG
Teori principal-agent (Jensen & Meckling, 1976) mengajarkan, rakyat adalah prinsipal, pejabat publik adalah agen. Masalahnya, agen punya informasi dan kewenangan lebih besar, sedangkan prinsipal tidak selalu bisa mengawasi.
BACA JUGA:Korupsi dan Jejaring Kekuasaan Elite
BACA JUGA:Korupsi di Pertamina, Jalan Menuju Kehancuran Negara?
Saat pengawasan lemah, diskresi tinggi menjadi pintu emas menuju korupsi. Itulah yang dikhawatirkan para akademisi administrasi publik, jangan sampai pengawasan terhadap diskresi itu lemah.
Sebab, jika pengawasan itu lemah, akuntabilitas menjadi minim, bahkan tidak ada. Sebagaimana formula yang disampaikan Robert Klitgaard (dalam Controlling Corruption, 1988) bahwa ”korupsi = monopoli + diskresi – akuntabilitas”.
Sayangnya, banyak pejabat lupa bahwa diskresi itu bukan cek kosong. Ia punya pagar: tidak boleh bertentangan dengan hukum, harus sesuai asas pemerintahan yang baik (good governance), dan dijalankan dengan iktikad baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: