Malainformasi Memakan Korban

ILUSTRASI Malainformasi Memakan Korban.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
SEJUMLAH peristiwa penjarahan rumah para anggota DPR dan pejabat publik pada akhir Agustus lalu bukanlah peristiwa yang muncul tiba-tiba. Itu merupakan puncak dari rangkaian narasi yang dibesar-besarkan dan berubah menjadi bara kebencian.
Rumah Ahmad Sahroni, Eko Patrio, hingga kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani diserbu dan dijarah, sebuah tragedi yang berangkat dari satu hal yang sama: malainformasi. Narasi yang beredar menyebutkan bahwa para pejabat tak peduli pada penderitaan rakyat di tengah krisis.
Informasi itu dilepaskan dari konteks, diulang-ulang tanpa cek fakta, lalu dikonsumsi publik seolah kebenaran.
Masalahnya, malainformasi itu tidak berhenti pada kabar yang menyesatkan. Ia berkembang menjadi ujaran kebencian di media sosial. Setiap potongan berita, foto, atau rumor yang menyangkut anggota DPR segera dibanjiri komentar bernada benci: ”mereka tidak berguna”, ”hidup dari uang rakyat”, dan ”layak dipecat”.
Sentimen negatif itu membesar karena algoritma media sosial cenderung memperkuat konten yang memicu emosi. Akibatnya, ruang digital berubah menjadi gema kebencian kolektif, yang kemudian meluber ke jalan-jalan dalam bentuk aksi massa.
Fenomena itu sesuai dengan apa yang diingatkan Paul Gilster dalam Digital Literacy (1997), bahwa kemampuan literasi digital tidak hanya soal akses, tetapi juga soal memahami konteks dan dampak dari informasi yang kita sebarkan.
UNESCO bahkan menegaskan pada 2015 bahwa literasi digital mencakup aspek etis bersikap di ruang digital agar tidak merusak tatanan sosial. Sayangnya, keterampilan itu masih rapuh di Indonesia. Bukannya menahan diri, banyak orang justru merasa bebas melontarkan ujaran kebencian karena berlindung di balik anonimitas akun.
RENDAHNYA LITERASI DIGITAL MEMICU KEKERASAN
Malainformasi adalah informasi yang benar atau berdasarkan fakta, tetapi disebarkan dengan cara yang menyesatkan dan untuk tujuan merugikan pihak tertentu. Informasi itu bisa diambil di luar konteks atau dilebih-lebihkan sehingga menimbulkan kebingungan, kebencian, hingga diskriminasi.
Dalam kasus penyerangan rumah anggota DPR, malainformasi menjadi bahan bakar kemarahan massa yang tergerak oleh narasi negatif tentang wakil rakyat. Ketidaktahuan dan ketiadaan kemampuan mengecek kebenaran informasi membuat masyarakat mudah terprovokasi.
Ditambah lagi, akumulasi masalah seperti kenaikan pajak di berbagai daerah, tunjangan DPR yang meningkat drastis, dan insiden lain yang memicu kemarahan publik membuat aksi demonstrasi menjelma menjadi kekacauan yang tidak terkendali.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa ujaran kebencian di media sosial berperan besar dalam mempercepat eskalasi kekerasan. Penelitian Mueller and Schwarz (2018) berjudul Fanning the Flames of Hate: Social Media and Hate Crime menunjukkan bahwa ujaran kebencian di media sosial berperan besar dalam mempercepat eskalasi kekerasan.
Sebuah studi di Jerman menemukan bahwa lonjakan ujaran kebencian anti pengungsi di Facebook berkorelasi signifikan dengan meningkatnya serangan terhadap pengungsi di dunia.
Hal serupa terlihat di Myanmar, Klejda Mulaj dalam artikel ilmiah bertajuk Cascades of violence to genocide: sovereignty, nationalism and the predicament of the Rohingya of Myanmar menjelaskan, media sosial memainkan peran sentral dalam menyebarkan ujaran kebencian yang kemudian berkontribusi pada kekerasan terhadap komunitas Rohingya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: