Malainformasi Memakan Korban

ILUSTRASI Malainformasi Memakan Korban.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Jika kita melihat sejumlah kasus di luar negeri, pola serupa seolah berulang. Di India, rumor yang beredar melalui WhatsApp tentang penculikan anak pada 2017–2018 berkembang menjadi ujaran kebencian terhadap kelompok yang dituduh sebagai pelaku.
Padahal, informasi tersebut tidak pernah terverifikasi. Pesan berantai itu menyebar cepat ke berbagai daerah, memicu kepanikan, dan berujung pada serangkaian pembunuhan massal (mob lynching) yang menewaskan puluhan orang tak bersalah.
Di Amerika Serikat, hoaks pilpres berubah menjadi ujaran kebencian terhadap institusi negara, yang puncaknya adalah penyerbuan Capitol Hill pada 2021.
Semua kasus itu menunjukkan satu pola yang sama: malainformasi yang dibiarkan akan tumbuh menjadi kebencian dan kebencian yang dibiarkan akan menjelma kekerasan.
AGENDA KE DEPAN
Untuk menjaga demokrasi tetap berjalan sehat, penguatan literasi digital menjadi pekerjaan rumah terbesar yang harus segera dituntaskan. Di tengah derasnya arus informasi, publik butuh kemampuan membaca, menilai, dan mengkritisi setiap informasi yang diterima.
Tanpa kemampuan itu, publik akan mudah terjebak dalam malainformasi atau bahkan terseret dalam arus ujaran kebencian yang dapat memicu kekerasan.
Jelas, tugas itu tidak bisa ditanggung satu pihak saja. Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang mendukung literasi digital secara masif, sedangkan lembaga pendidikan harus menanamkan keterampilan berpikir kritis sejak dini.
Media massa juga harus ikut berperan, dengan memastikan pemberitaan yang akurat sekaligus mengedukasi pembacanya tentang cara memilah informasi.
Di sisi lain, partai politik dan DPR tidak boleh tinggal diam. Mereka harus membangun mekanisme komunikasi yang transparan dan cepat dalam merespons isu-isu yang berkembang sehingga publik tidak terjebak dalam prasangka akibat kekosongan informasi.
Komunikasi yang baik tidak cukup hanya menyampaikan data dan klarifikasi, tetapi juga membutuhkan empati agar pesan yang disampaikan dapat diterima dengan lebih hangat dan manusiawi.
Dalam konteks ini, empati berperan penting untuk menekan meluasnya ujaran kebencian, baik di ruang online maupun offline. Strategi berbasis empati layak dipertimbangkan sebagai pendekatan komplementer karena tidak hanya melawan kebencian dengan larangan atau sensor, tetapi juga mendorong masyarakat untuk memahami perspektif orang lain.
Dengan komunikasi yang empati, ruang publik tidak hanya terisi dengan bantahan dan adu klaim, tetapi juga dengan upaya saling mendengar dan membangun kepercayaan.
Malainformasi adalah ancaman nyata yang mampu mengikis rasa saling percaya dan merusak fondasi demokrasi.
Karena itu, penanganannya menuntut strategi kolaboratif, tidak hanya untuk menyelamatkan reputasi individu, tetapi juga untuk menjaga stabilitas sosial-politik bangsa. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: