Pandai Pencitraan, Lupa Pengabdian: Refleksi Akhir Tahun
ILUSTRASI Pandai Pencitraan, Lupa Pengabdian: Refleksi Akhir Tahun.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
DI UJUNG 2025 ini, kita seperti diajak melihat kembali perjalanan panjang setahun penuh. Banyak peristiwa berjalan cepat –begitu cepatnya sampai kita kadang lupa membedakan mana yang sungguh-sungguh, mana yang hoaks, dan mana yang sekadar terlihat.
Satu di antara semua cerita yang lewat, satu pola muncul cukup jelas, khususnya di media sosial: bagaimana dunia kita perlahan berubah menjadi panggung yang makin visual, makin performatif, dan bisa jadi makin mudah salah paham. Di sini kita melihat dunia politik ikut terseret ke dalam arus itu.
Seiring waktu, ruang digital kita terasa kian padat oleh aktivitas pejabat publik. Tidak harus selalu kita ukur dengan angka; cukup dengan membuka lini masa harian, kita bisa menemui potongan-potongan aktivitas resmi yang dibagikan ke publik.
BACA JUGA:Tuntaskan Pekerjaan, Pencitraan Kemudian
BACA JUGA:Pencitraan dalam Ruang Jiwa Sekartaji Suminto; Keintiman Memori Masa Kecil
Ada yang sedang sidak, ada yang sedang membagikan bantuan, seperti saat bencana Sumatera akhir-akhir ini. Ada pula yang sedang berbicara dengan gaya yang terasa sangat performatif. Tidak semuanya salah.
Tidak semuanya buruk. Namun, kadang kita merasa ruang pelayanan publik bergeser sedikit ke arah yang terlalu terang –seperti lampu studio yang menyala lebih kuat daripada kerja nyata yang sedang berlangsung.
Tentu saja, fenomena itu bukan hal baru dalam kajian sosial. Erving Goffman (1959) pernah menulis tentang Impression Management, bagaimana manusia membagi hidupnya menjadi panggung depan dan panggung belakang.
Di panggung depan, kita sungguh-sungguh menata penampilan. Di panggung belakang, kita menata kerja. Mungkin refleksi 2025 adalah ketika panggung depan terasa jauh lebih heboh, sedangkan panggung belakang terasa adem ayem, seakan tak punya urgensi, dan karena itu, perlu kita tengok ulang bersama.
Ulasan media asing juga menguatkan kecenderungan itu. The Economist (2018) dalam artikelnya, The Age of Political Theatre, menggambarkan bagaimana politik di banyak negara mulai tampak seperti pertunjukan.
Bukan karena politisinya gemar berakting, melainkan karena publik kini lebih cepat menilai apa yang tampak di layar. Ketika cara berkomunikasi berubah, perilaku pun ikut menyesuaikan.
Kita pun bisa merasakannya di sini. Media Humas Indonesia merilis laporan Plus Minus Komunikasi Pejabat lewat Konten Medsos. Ada temuan yang cukup jernih: aktivitas digital pejabat meningkat, tetapi kualitas pelayanan tidak selalu ikut naik secepat frekuensi unggahan.
Laporan lain, Pernyataan Pejabat Kerap Picu Amarah Publik (Mei 2025), menunjukkan bagaimana ritme komunikasi digital bisa terlalu cepat sehingga reaksi publik kadang mendahului niat kebijakan dan berdampak pada tumbuhnya kesalahpahaman serta kegaduhan yang sebenarnya tidak perlu.
Cambridge University Press (2025) menerbitkan studi The American Viewer: Political Consequences of Entertainment Media. Penelitian itu menjelaskan perubahan besar: politik global perlahan menyerupai panggung hiburan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: