Menyapu Korupsi Moral: Nurani, Ucapan Pejabat, dan Luka Rakyat

Menyapu Korupsi Moral: Nurani, Ucapan Pejabat, dan Luka Rakyat

ILUSTRASI Menyapu Korupsi Moral: Nurani, Ucapan Pejabat, dan Luka Rakyat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

BEBERAPA kota besar di Indonesia sempat dipenuhi demonstrasi. Salah satunya menggunakan simbol sapu yang diangkat tinggi oleh Aliansi Perempuan Indonesia (API). Sapu itu bukan untuk membersihkan jalan, melainkan tanda bahwa rakyat ingin menyapu bersih segala bentuk kebusukan di tubuh politik kita. rakyat rindu pejabat publik yang berintegritas, berhati nurani, dan mampu menjadi teladan moral.

Tantangan terbesar bangsa ini bukan hanya korupsi finansial, melainkan juga korupsi moral. korupsi moral terjadi ketika pejabat publik kehilangan kepekaan nurani. Hukum bisa ditegakkan, aturan bisa diperketat, tetapi, tanpa hati yang hidup, jabatan selalu dipandang sebagai alat memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaan. 

BACA JUGA:Korupsi dan Formalisme Beragama: Kasus Dugaan Korupsi Kuota Haji

BACA JUGA:Saat Nadiem Makarim Tersangka Korupsi: Dikepung Dua Institusi

Itulah pengkhianatan etika yang paling serius karena tidak hanya merusak kas negara, tetapi juga kepercayaan rakyat.

Salah satu bentuk korupsi moral tampak dari ucapan-ucapan yang abai empati. Pernyataan yang meremehkan penderitaan rakyat, candaan yang menyakiti, atau komentar yang menunjukkan kesombongan merupakan tanda bahwa nuraninya telah tumpul. 

Mulut pejabat publik bukan sekadar milik pribadi, melainkan cermin dari martabat institusi yang diwakilinya. Kata-kata bisa mengangkat martabat rakyat atau, sebaliknya, menambah luka mereka.

BACA JUGA:Babad Korupsi Nusantara

BACA JUGA:Menghadang Korupsi dari Hulu

Kasus terbaru yang dapat menjadi cermin nyata adalah pernyataan anggota DPRD Provinsi Gorontalo Wahyudin Moridu, yang dalam sebuah video terdengar berkata: ”Kita rampok aja uang negara ini kan. Kita habiskan aja biar negara ini makin miskin.” 

Walau diklarifikasi sebagai candaan, ucapan itu menimbulkan kekecewaan mendalam di masyarakat. Bagi rakyat yang setiap hari berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, kata-kata itu bukan sekadar gurauan, melainkan bentuk pengkhianatan moral seorang pejabat terhadap nurani publik. 

Reaksi keras masyarakat, pemanggilan oleh Badan Kehormatan DPRD, hingga keputusan partai untuk memecat Wahyudin, menunjukkan bahwa ucapan pejabat publik bukanlah hal sepele. Sekalipun hanya kata-kata, dampaknya bisa meruntuhkan kepercayaan.

BACA JUGA:Diskresi dan Korupsi: Dua Sisi Mata Uang yang Membahayakan

BACA JUGA:Tersangka Korupsi Wamenaker Berharap Amnesti Prabowo: Kalau Hasto Bisa, Mengapa…

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: