Menyapu Korupsi Moral: Nurani, Ucapan Pejabat, dan Luka Rakyat

Menyapu Korupsi Moral: Nurani, Ucapan Pejabat, dan Luka Rakyat

ILUSTRASI Menyapu Korupsi Moral: Nurani, Ucapan Pejabat, dan Luka Rakyat.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kejahatan bisa hadir dalam bentuk yang ”biasa-biasa saja”. Hadir bukan dari niat bengis, tetapi dari hilangnya kemampuan untuk berpikir secara moral. 

Bersembunyi di balik kata ”candaan”. atau sekadar mengikuti arus prosedur tanpa refleksi etis, sesungguhnya sedang memperlihatkan wajah banalitas kejahatan itu. Tidak merasa berbuat jahat, tetapi melalui kelalaian dan kepatuhan buta justru memperbesar kerusakan publik. 

Ketika nurani digantikan rutinitas dan refleksi digantikan oleh sekadar kepatuhan administratif, korupsi moral menjelma sebagai sesuatu yang seolah normal. Padahal, korupsi moral adalah bentuk pengkhianatan terdalam pada rakyat.

Untuk keluar dari lingkaran itu, diperlukan legitimasi kekuasaan yang dibangun melalui komunikasi yang jujur, rasional, dan inklusif –di mana semua pihak yang terdampak boleh bersuara dan argumen diuji secara terbuka. 

Pejabat publik dituntut bukan hanya untuk bersembunyi di balik prosedur hukum, melainkan juga untuk berani membuka diri pada dialog dengan rakyat. Integritas tidak lahir dari klaim sepihak, tetapi dari kesediaan mendengar, menjawab, dan bertanggung jawab secara komunikatif.

MENYAPU NURANI

Demonstrasi bersapu lidi adalah cermin perlawanan rakyat terhadap korupsi moral. Mereka tidak sekadar menuntut bersih dari korupsi uang, tetapi juga dari korupsi hati. Pejabat publik dituntut untuk menjaga ucapan, tindakan, penampilan, dan keluarganya dari godaan kekuasaan.

Rakyat membutuhkan teladan, bukan sekadar aturan. Demokrasi akan sehat jika pejabatnya berhati nurani, sederhana, berempati, dan jujur. Sebaliknya, demokrasi akan rapuh jika pejabatnya hanya pandai berkilah, memamerkan kekayaan, dan menjadikan jabatan sebagai warisan keluarga.

Pada akhirnya, pesan demonstrasi itu sesungguhnya sederhana: sebelum rakyat menyapu pejabat dengan kemarahan, para pejabat seharusnya berani menyapu diri sendiri –membersihkan ucapan yang menyakitkan, tindakan yang melukai, penampilan yang menjauhkan, dan keluarga yang menunggangi jabatan. 

Etika publik menuntut keberanian moral untuk mengoreksi diri, bukan sekadar menunggu koreksi dari rakyat. (*)

*) Yusuf Ernawan adalah dosen antropologi, FISIP, Unair.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: