Babad Korupsi Nusantara

ILUSTRASI Babad Korupsi Nusantara.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
KORUPSI di Indonesia bukanlah fenomena baru. Ia ibarat benang merah yang menjahit babad peradaban manusia, selalu muncul di setiap tahap sejarah ketika kekuasaan dan kepemilikan lahir. Di Mesir kuno, pejabat memungut pajak lebih dari yang seharusnya. Di Roma, loyalitas dihargai dengan koin.
Di tanah Nusantara, dari kerajaan-kerajaan awal hingga kolonial, penyalahgunaan jabatan bukanlah kabar asing. Di setiap era, korupsi hadir sebagai bayangan yang setia mengikuti cahaya kemajuan.
Dalam catatan Kerajaan Majapahit, misalnya, sudah ada tanda-tanda penyalahgunaan wewenang. Pada masa kolonial, praktik itu dilembagakan dalam bentuk pungutan dan rente yang sistematis, meninggalkan warisan patronase hingga kini.
BACA JUGA:Menghadang Korupsi dari Hulu
BACA JUGA:Diskresi dan Korupsi: Dua Sisi Mata Uang yang Membahayakan
Setelah kemerdekaan, bukannya hilang, korupsi malah bertransformasi. Ia menyesuaikan diri dengan demokrasi dan birokrasi modern. Dari anggaran siluman, proyek yang hanya ramah bagi ”teman dekat”, hingga markup yang dikemas dalam bahasa administrasi.
Semuanya memperlihatkan bahwa korupsi selalu menemukan wajah baru. Hasilnya bukan sekadar kerugian finansial, melainkan juga perampasan kepercayaan publik.
Satirenya, rakyat dipaksa menjadi penonton setia sandiwara moral yang sama: pejabat ditangkap, dihujat, lalu digantikan oleh aktor lain dengan naskah identik.
BACA JUGA:Tersangka Korupsi Wamenaker Berharap Amnesti Prabowo: Kalau Hasto Bisa, Mengapa…
BACA JUGA:Korupsi Hakim, Subversi Negara Hukum, dan Penawaran Sistem Pidana Islam
Kasus terbaru Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer alias Noel, menjadi bab kontemporer dari kisah panjang korupsi di negeri ini. Namun, skandalnya tidak berhenti pada level personal. Ia segera menjelma drama politik.
Sebagai ketua Relawan Jokowi Mania (JoMan) sekaligus pendukung vokal Presiden Jokowi, kejatuhan Noel ditafsirkan melampaui sekadar kegagalan moral individu. Ia diposisikan sebagai simbol: bagi sebagian pihak, tumbangnya Noel adalah retakan pada jaringan politik yang ia bela.
Bagi oposisi, itu bahan bakar untuk mengaitkan praktik korupsi dengan bayang-bayang pemerintahan Jokowi. Sedangkan bagi rezim, itu justru menjadi panggung untuk menegaskan bahwa hukum bekerja tanpa pandang bulu.
BACA JUGA:Korupsi dan Jejaring Kekuasaan Elite
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: