Resensi Film Who Am I (2014): Bjorka dari Jerman

Resensi Film Who Am I (2014): Bjorka dari Jerman

INGIN JADI SUPERHERO, Benjamin (Tom Schilling) memasuki dunia internet dan menjadi peretas dalam film film Who Am I. Digarap dengan baik, Who Am I sungguh asyik dinikmati. -sony pictures-

Oleh:
Awik Latu Lisan
Penikmat Film, Member Group Hobby Nonton

SURABAYA, Harian Disway - Bjorka yang asyik menggoda pemerintah Indonesia membuat komunitas Hobby Nonton mengulik lagi film-film bertema peretasan. Dari sekian banyak pilihan, kami memutuskan menonton Who Am I.

Who Am I mengisahkan tentang Benjamin (Tom Schilling), lelaki muda introver yang diasuh neneknya. Waktu ia berusia delapan tahun, ayahnya pergi, sedangkan ibunya bunuh diri. Sejak kecil Benjamin memiliki mimpi menjadi superhero. Tapi ia sadar bahwa itu hanya khayalan. Tapi, sejak menemukan internet, Benjamin sadar bahwa di sana ia bisa menjadi siapa saja. Bahkan superhero.

Hidupnya berubah seketika saat bertemu Max yang karismatik (Elyas M'Barek). Meskipun memiliki kepribadian yang sangat berbeda, keduanya memiliki minat yang sama. Yakni hacking. Benjamin bersama teman-teman Max, Stephan yang impulsif (Wotan Wilke Mohring), dan Paul yang paranoid (Antoine Monot), membentuk kelompok peretas bernama CLAY (Clown Laughing At You).

CLAY awalnya meretas hal-hal kecil. Seperti memperolok partai neo-nazi di Jerman, meretas bursa efek secara live di TV, dan mengganggu sebuah perusahaan farmasi. Hanya untuk bersenang-senang.  Namun, ternyata sambutan masyarakat cukup besar. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Benjamin merasa telah melakukan sesuatu yang penting. Bahkan dengan itu ia berhasil merebut perhatian cewek yang disukainya, Marie (Hannah Herzsprung).



CLAY, kelompok peretas kelas wahid, beraksi dengan mengenakan topeng badut. Dalam waktu singkat, mereka menjadi buron Europol. -sony pictures-


Tapi kesenangan mereka berubah menjadi bahaya mematikan. Ketika mereka mulai mengincar perhatian MRX, salah satu peretas terbaik di dunia. CLAY melancarkan serangan ke tempat-tempat yang berbahaya. Sehingga nama mereka muncul di BKA (alias Bundeskriminalamt, kantor polisi kriminal federal Jerman).

Mereka bahkan masuk ke daftar buronan nomor satu Europol. Mereka dikejar-kejar oleh oleh penyidik kejahatan siber bernama Hanne Lindberg (Trine Dyrholm). Benjamin bukan lagi no-one. Ia sudah berubah menjadi salah seorang peretas paling dicari di dunia.

Film Jerman jarang mengecewakan saya. Sekalipun filmnya serius, mereka selalu menawarkan hal baru. Who Am I sebenarnya berhasil. Tapi anehnya karakteristiknya justru bukan gaya sinematik ala Jerman yang penuh eksperimental. Who Am I malah seperti film Hollywood yang klise.

Skenarionya tidak dibikin aneh-aneh, bahkan terbilang ’’normal’’. Tapi, nampaknya formula itu berhasil. Meski plotnya di awal maju mundur, tapi benang merahnya mudah diikuti.

Saya sangat terkesima dengan plot twist film ini. Who Am I mengingatkan saya pada dua film Hollywood yang terkenal dengan plot twist. Saya tak berani menyebutkan judul filmnya, karena akan berefek tak nyaman saat menontonnya. Tapi saya yakin, jika kalian menontonnya akan teringat kedua thriller mystery itu.

Oleh karena itu, Who Am I bagi saya tak nampak seperti Film Jerman seperti biasanya. Yang selalu nampak orisinal dan inovatif. Tapi kali ini tidak. Justru Who Am I seperti sedang mendedikasikan sebagai sebuah tribute dari kedua film tersebut. Di beberapa adegan nantinya akan banyak muncul Easter egg film tersebut.  

Tak banyak film tentang hacker yang berhasil fokus dalam dunia peretasan. The Matrix malah menjadi sci-fi fantasy. Beberapa yang lain malah menjadi film jelek. Seperti The Net (1995), Harwired (2009), atau Blackhat (2015). Selain itu, film yang bagus malah fokus pada muatan dramanya. Macam Snowden (2016) dan The Fifth Estate (2013). Mungkin yang berhasil menunjukkan dunia hacker hanya serial Mr Robot (2015-2019).

Who Am I bahkan kabarnya sedang disiapkan Hollywood untuk di-remake. Jika benar, maka saya yakin hasil akhirnya tak akan jauh berbeda. Tapi mudah-mudahan akan diproduksi dengan biaya yang tinggi sehingga secara visual bisa lebih kekinian.

Dengan biaya produksi yang pas-pasan Who Am I, menjelma menjadi tontonan yang begitu sederhana. Cocok bagi yang merindukan film aksi dengan skenario bagus dan plot unik khas film-film tahun 90an sampai 2000an awal. Drama yang bagus, aksi yang nyata, dan tak mengandalkan kehebohan CGI.

Kami merasa ceroboh sampai melewatkan film tentang hacker sebagus ini. Butuh delapan tahun dulu baru mengulasnya. Sungguh memalukan. Tapi kami beruntung. Kalau bukan karena Bjorka, mungkin kami akan melewatkan lebih lama lagi. Jadi jika kalian ingin menikmati minggu ini dengan tontonan yang bertema hacker, Who Am I adalah film terbaik untuk itu. Enjoy. (*)

Sumber: