Dalam Era digital, Identitas Seseorang Bisa Bias

Dalam Era digital, Identitas Seseorang Bisa Bias

Djuir Muhammad (kiri) dan Fins Purnama (kanan) menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk Sadtember Ceria: Tragedi 65, Bjorka dan Manusia Data di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya.--

Kiri bawah: 

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Ini antara G30S/PKI dan Bjorka. Fenomena dari masa lalu dan masa kini yang ternyata saling berhubungan. Minimal memiliki satu kesamaan: data. Betapa masyarakat sangat percaya pada sebuah data. Tanpa dicari tahu benar tidaknya. 

September merupakan bagian dari rutinitas tahunan kehidupan medsos Indonesia. Pada bulan tersebut, mendadak semua informasi berbau PKI. Netizen bertukar argumen dengan sengit tentang versi yang mereka yakini. 

Menjadi sebuah siklus tahunan yang selalu berulang. Sama seperti bulan Desember, dengan bumbu persoalan: halal-haram ucapan Selamat Natal.

Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) tak mau ketinggalan. Dalam diskusi yang diadakan oleh Fakultas Filsafat, mereka mengetengahkan tema serupa. Namun dibalut dengan bumbu yang menjadikannya unik yakni korelasi antara G30S/PKI dengan Bjorka. 

Dua narasumber dihadirkan. Fins Purnama, dosen Fikom UKWMS, aktivis Mafindo, serta Djuir Muhammad dari Kontras Surabaya. Dimoderatori Rizqi Ariko Firdaus, mahasiswa Filsafat UKWMS angkatan 2020.
Diskusi Sadtember Ceria: Tragedi 65, Bjorka dan Manusia Data yang berlangsung gayeng di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang menarik hadirin untuk membahas momen fenomenal terkait September.--

Dalam pembukaan diskusi bertajuk Sadtember Ceria: Tragedi 65, Bjorka dan Manusia Data, Fins membuka dengan pertanyaan tak terduga. ”Siapa yang namanya Michael di sini?,” katanya tiba-tiba.

Sontak, semua empunya nama Michael mengacungkan jari. ”Nah dulu, beberapa minggu pasca-G30S/PKI, semua penjagal memegang data. Misalnya, ada nama Michael. Tak peduli Michael yang mana. Pokoknya yang bernama Michael, diangkut, dituduh PKI, ditahan atau dibunuh,” terangnya.

Memang seperti itu yang terjadi. Mereka yang bertugas sebagai penculik para simpatisan PKI, melakukan aksinya berdasarkan data berupa nama-nama orang. Data yang belum tentu valid tidaknya. 

Bahkan orang yang berwenang mengubah data itu, dapat melakukan manipulasi sesuka hati. Termasuk memfitnah orang yang ia benci. 

Begitulah masyarakat masa lalu bertindak berdasarkan data. Bahkan tanpa berpikir. Seseorang, misalnya, yang hanya tercatat sebagai simpatisan Lekra, atau orang yang sekadar tercantum dalam buku tamu lembaga underbow PKI tersebut, ikut terciduk.

Dalam layar proyektor di dinding ruang utama lantai 1 kampus UKWMS, ditayangkan artikel-artikel dari portal berita internasional. Di antaranya menyebut bahwa CIA ikut berperan menyusun data nama-nama simpatisan PKI atau orang-orang yang terlibat dalam kelompok sayapnya. Berikut para pendukung Bung Karno.

Film dokumenter tentang algojo, korban selamat hingga sosok Supanah, perempuan tua yang suaminya terbunuh karena dituduh PKI. ”Anak-anak saya dulu waktu sekolah, diejek sebagai anaknya PKI,” ujarnya lirih, kemudian tersedu.
Ariko Firdaus, moderator diskusi yang mengurai hubungan tragedi September hingga Bjorka dengan sangat menarik oleh dua narasumber.--

Hingga kini terdapat banyak versi tentang kebenaran sejarah terkait G30S/PKI. ”Kita tidak punya versi yang utuh. Sekarang tinggal bagaimana sudut pandang kita memaknai sebuah peristiwa,” ujar Djuir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: