Jatim Targetkan Stunting Turun Hingga 18,4 persen Tahun Ini

Jatim Targetkan Stunting Turun Hingga 18,4 persen Tahun Ini

Grafis Stunting di Jatim--

Banyak hal yang harus disiapkan menuju Indonesia Generasi Emas 2045. Yang darurat adalah mengentaskan generasi dari persoalan gizi alias stunting. Jawa Timur cukup tanggap. Angka prevalensi stunting terus turun dalam tiga tahun terakhir.

--

Berdasarkan data terakhir dari Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), angka prevalensi stunting di Indonesia masih 24,4 persen. Dan tercatat sebanyak tujuh provinsi yang tertinggi. Di antaranya, Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Aceh.

Sementara angka prevalensi stunting di Jawa Timur mencapai 23,5 persen. Hanya lebih rendah 0,9 persen dari nasional. Bahkan Jawa Timur termasuk lima provinsi dengan jumlah stunting balita terbanyak. Yakni berdampingan dengan Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Banten. 

Untuk itu, penanganan stunting pun menjadi perhatian serius. Berbagai upaya telah dimaksimalkan. Hasilnya cukup lumayan. Dalam tiga tahun terakhir, angka prevalensi stunting terus menurun signifikan.


PETUGAS Puskesmas Urang Agung, Sidoarjo, memeriksa balita di atas odong-odong.-Boy Slamet-Harian Disway-

Pada 2018 sebesar 32,81 persen kemudian turun menjadi 26,9 persen pada 2019. Pada tahun awal pandemi Covid-19 pun demikian, turun menjadi 25,64 persen. “Kami menargetkan turun menjadi 13,5 persen pada 2024 nanti,” ujar Wakil Gubernur Jatim Emil Elestianto Dardak.

Komitmen itu disampaikan Emil pada raker penurunan stunting bersama Wakil Presiden RI KH. Ma'ruf Amin di Istana Wakil Presiden, Jakarta Pusat, pada Agustus lalu. Target tersebut tercatat lebih rendah dari target pemerintah pusat yaitu 14 persen.

“Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Jawa Timur dr Erwin Astha Triyono kepada Harian Disway, Senin, 10 Oktober 2022. Salah satu penyebabnya adalah kurang kecukupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).

Setidaknya, ada 23 persen anak lahir dengan kondisi sudah stunted alias perawakan pendek. Itu akibat dari ibu yang hamil kurang gizi dan anemia sejak masa remajamyi. 

Dan risiko stunting bakal meningkat signifikan pada usia 6 hingga 23 bulan. Yang juga disebabkan oleh kurangnya asupan protein hewani pada makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang mulai diberikan sejak usia 6 bulan.

Menurut Erwin, pemerintah sudah menjalankan strategi dalam mengatasi stunting. Yakni dengan melakukan integrasi lintas sektor untuk memenuhi kebutuhan pangan MP-ASI. Walaupun tidak setiap hari diberikan 100 persen, tapi minimal berusaha untuk memenuhi 35 persen kebutuhan anak tersebut.

Lintas sektor itu antara lain, Bappeda, BKKBN, dan DP3AK. Semua sektor itu digerakkan dalam penanganan stunting di Jawa Timur. Setidaknya melalui intervensi langsung. Baik dari bidang kesehatan maupun non-kesehatan.

“Kami koordinasikan aksi konvergensi penurunan stunting dari tingkat desa secara rutin,” ujar mantan Kepala Rumah Sakit Lapangan Indrapura itu. Tentu juga melibatkan organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, dan organisasi profesi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: