Sejarah dan Tragedi Kanjuruhan; Antara Kerajaan Tertua dan Sepakbola
Stadion GOR Kanjuruhan, tempat kejadian tragedi sepakbola yang menewaskan ratusan orang.--
Sampai ketika Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Sri Dharmodaya Mahasambu dari kerajaan Mataram yang berpusat di Poh Pitu, Jawa Tengah, mengadakan ekspansi kekuasaan memasuki Jawa Timur. Ekspansi tersebut salah satunya menyasar Kanjuruhan.
Maka sejak Kanjuruhan ditaklukkan, statusnya berubah dari kerajaan otonom menjadi watak atau vasal atau kerajaan bawahan yang dipimpin pejabat setingkat Rakai, dengan sebutan "Rakryan Kanuruhan.”
Raja Balitung, yang berperan mengubah status Kerajaan Kanjuruhan, memerintah antara 9 Juni 898 (berdasarkan tarikh Prasasti Wanua Tengah III, yang menyebut tanggal pentabisan raja tersebut) hingga pertengahan tahun 910 (tarikh dari Prasasti Watu Ridang, 22 Maret 910, sebagai prasasti terakhir yang menuliskan nama Raja Balitung).
Semenjak itu Kanjuruhan menjadi salah satu di antara sejumlah watak yang ada di Malang Raya. Eksistensi Kanjuruhan sebagai watak terbukti terus berlanjut hingga memasuki masa Majapahit.
Dinamika Kanjuruhan sebagai kerajaan otonom hingga menjadi watak, kurang tersuarakan pada publik. Publik lebih mengenal Kanjuruhan sebagai GOR dan Universitas daripada sebagai kerajaan otonom tertua di Jawa Timur.
Pemerintah Kabupaten Malang yang notabene menjadikan Prasasti Kanjuruhan sebagai petanda untuk hari jadi, kurang bersungguh-sungguh untuk menyuarakan Kerajaan Kanjuruhan beserta tinggalan-tinggalan sejarahnya. Kabupaten tersebut tampak sekadar meminjam nama Kanjuruhan untuk menamai gelanggang olahraga di Kepanjen.
Dampaknya tentu tak semua masyarakat, terutama pelajar di Malang Raya tak paham tentang Kerajaan Kanjuruhan. Padahal kerajaan tersebut adalah kerajaan yang berada di kawasan mereka sendiri.
Baru pada Oktober 2022, nama Kanjuruhan mendadak populer. Tapi sayang kepopuleran itu bukan berada dalam bingkai sejarah. Namun lebih pada tragedi sepakbola yang merenggut jiwa ratusan suporter Arema. Nama Kanjuruhan lebih dikenal dalam momentum tragedi yang "ahumanis.”
Masing-masing masa, tiap-tiap daerah, bahkan seseorang atau kelompok, bisa jadi memiliki tragedinya masing-masing. Tak terkecuali di bidang olahraga, khususnya sepakbola. Menilik jumlah korban jiwa dalam tragedi GOR Kanjuruhan adalah terbesar ke-2 setelah tragedi sepakbola di Estadio Lima (Peru), dengan korban jiwa sebanyak 328 orang pada 24 Mei 1964.
Potensi bagi terjadinya tragedi dalam sepakbola ke depan sangat mungkin akan semakin menguat. Apalagi setelah sepakbola diindustrialisasi, dikapitalisasi, serta dijadikan komoditi untuk meraih keuntungan ekonomi oleh manajemen klub sepak bola serta pihak penyelenggara pertandingan.
Semoga musibah GOR Kanjuruhan jadi tragedi sepakbola yang terakhir. Tak terulang lagi. Namun kejadian itu memberi hikmah. Bahwa semua orang bisa melakukan introspeksi. Menonton bola harus asyik dan sadar bahwa kalangan suporter masing-masing klub bukan musuh. Melainkan mitra. Persoalan klub idolanya menang atau kalah, itu biasa. Tak ada sepakbola seharga nyawa. Nuwun. Salam satu jiwa, Arema. (Oleh M Dwi Cahyono; Arkeolog asal Malang)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: