Dedikasikan Buku untuk Laut, Desi Resdiyanti Tanam Bakau di Beltim

Dedikasikan Buku untuk Laut, Desi Resdiyanti Tanam Bakau di Beltim

Desi Resdiyanti dengan buku biru yang pada cetakan pertama, sebanyak 100 buku, menyusul cetak ulang kedua sebanyak 200 eksemplar dan kini memasuki cetak ulang ketiga. --

BOGOR, HARIAN DISWAY - Dari kelas privat menulis berkonsep writerpreneur yang diampu best selling author Kirana Kejora, Desi Resdiyanti dididik sebagai penulis tangguh. Lahirlah buku kelima atau buku kedua tunggalnya yang berjudul Panah itu Membidik Laut.

Inilah buah kegelisahan Desi. Ketika upaya penanggulan sampah plastik tidak sebanding derasnya arus sampah. Seperti metafora yang digambarkan dalam video The Story of Plastic, yang pernah dia tonton.

Ada tanyanya apakah benar tentang prediksi bahwa pada 2050 akan lebih banyak plastik dari pada ikan di lautan, bakal jadi kenyataan. ”Maka ketika menulis Panah Itu Membidik Laut, saya punya tujuan mengurangi kecepatan arus sampah plastik menuju laut,” kata perempuan kelahiran Jakarta, 5 Desember 1974.

Namun jika dirunut lagi ke belakang. Desi ingin menulis ”buku biru” -sebutannya untuk bukunya- itu karena ingin mewarisi pustaka dan mengambil hikmah dari pengalaman mengajar anak berkebutuhan khususnya autism. 

”Saya memang bukan aktivis lingkungan. Tapi sering memberdayakan sampah plastik untuk media belajar dan bermain murid-murid. Terpikirlah bahwa saya harus meninggalkan sesuatu untuk mereka,” terangnya.

Yang lebih menginspirasinya dalam menulis buku biru itu lagi adalah ketika membaca novel dwilogi laut Rindu terpisah di Raja Empat dan Renjana Biru di Morotai. Karya writerpreuner sukses Kirana Kejora.
Dengan buku yang disebutnya sebagai buku biru, Desi Resdiyanti berharap bisa membantu teman-teman penggerak konservasi alam yang berjuang.--

Bacaan itu pun mengulik keingintahuan ibu dua anak itu tentang cerita perairan Indonesia. Ada rasa bahagia ketika Desi melihat keindahan surga bawah laut dan pesona pesisir pantai. Namun ternyata ada cerita lara di sana. 

”Berita kepungan sampah plastik yang merusak ekosistem, Membuat hewan laut menderita, terumbu karang merana dan padang lamun di laut dangkal tak sedap lagi di pandang mata membuat saya berpikir. Itu benar-benar sederet kisah yang memilukan,” katanya. 

Apalagi diperkuat dari hasil riset dari berbagai lembaga yang berkaitan dengan lingkungan, semua menyatakan bahwa masalah besar tersebut harus menemukan solusinya. 

”Maka ibarat panah, saya harus membidik hal negatif di depan saya untuk dihalau. Dengan filosofi memanah, saya berharap semacam ada obat penawar untuk mengusir keresahan saya itu,” terangnya.

Maka memanah yang dijabarkan Desi dalam bukunya punya dua arti. Pertama sebagai gambaran olahraga yang banyak manfaatnya. Memanah juga merupakan tradisi budaya Nusantara. ”Ada istilah murourou, leo tenada, panahan kasumedangan, yang dalam buku ini. Juga masih banyak lagi yang jadi bagian dari kekayaan budaya milik bangsa,” katanya.

Kedua, memanah itu diarahkannya pada sampah plastik. Artinya Desi ingin ikut dalam gerakan memberdayakan sampah plastik yang keberadaannya memang sulit ditolak. 

Selain itu ada dasar pemikiran yang memperkuat niatnya. Ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi demikian: Tatkala seseorang berjalan di suatu jalan, dia mendapatkan satu  dahan pohon berduri berada di tengah jalan, lalu dia meminggirkannya, maka Allah berterima kasih padanya dan mengampuninya.

”Saya mengibaratkan dahan pohon berduri adalah sampah plastik yang keberadaan mengancam kehidupan aneka satwa dan flora di lautan,” beber sarjana ekonomi itu tentang bukunya yang ditulis sejak November 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: