Menjaga Surplus Perdagangan
-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-
TREN positif transaksi perdagangan RI masih berlanjut. Neraca perdagangan pada September menunjukkan surplus hingga USD 4,99 miliar. Itu menjadi surplus neraca dagang RI ke-29 berturut-turut. Persisnya, sejak Mei 2020, awal Covid menyerang.
Melihat data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor September tercatat USD 24,8 miliar. Sebaliknya, impor USD 19,81 miliar. Dari angka itu, surplus perdagangan nonmigas tercatat USD 7,08 miliar dan defisit migas mencapai USD 2,10 miliar.
Data juga menunjukkan bahwa meski masih surplus, ada kecenderungan bahwa nilai surplus neraca dagang RI terus menurun. Jika dibandingkan dengan Agustus, surplus September turun cukup tajam. Dari surplus USD 5,7 miliar ke angka USD 4,99 miliar.
Penurunan nilai surplus tersebut perlu diwaspadai. Sebab, tren penurunan itu bisa terus berlanjut di bulan-bulan mendatang. Itu tak lepas dari ancaman depresi ekonomi global yang mungkin akan dirasakan negara-negara di dunia tahun depan.
Kondisi ekonomi global memang sedang tidak baik. Perkembangan di Amerika Serikat (AS) dan Eropa –dua kawasan tujuan ekspor utama RI– menunjukkan bahwa ekonomi makin sulit. Semua dibayang-bayangi inflasi tinggi yang dipicu oleh pemulihan Covid dan perang di Ukraina.
Di AS, misalnya. Negeri Paman Sam itu mencatat inflasi tahunan yang sangat tinggi sepanjang 2021 dan 2022. Tertinggi sejak Juni 1982. Pemicu utama inflasi tinggi tersebut adalah energi (33,3 persen). Itu tak lepas dari kenaikan harga minyak mentah yang cukup tinggi selama Desember dan sepanjang tahun. Selain itu, kurangnya tenaga kerja dan meningkatnya permintaan sebagai dampak pemulihan akibat Covid-19.
Diperkirakan, tekanan inflasi di AS masih akan dirasakan hingga akhir tahun 2022. Meskipun, AS melakukan berbagai upaya untuk menekan inflasi. Termasuk menaikkan tingkat bunga untuk mengurangi permintaan agregat di masyarakat. The Fed sangat mungkin masih akan menaikkan tingkat bunga karena kemungkinan inflasi masih akan tinggi. September lalu, inflasi year-on-year masih bertengger di atas 8 persen. Itu menandakan bahwa ruang untuk kenaikan tingkat bunga masih terbuka lebar.
Yang juga harus diwaspadai adalah adanya tren penurunan harga komoditas dunia. Penurunan ekonomi berdampak pada permintaan komoditas yang umumnya sebagai bahan baku produksi menurun. Dampaknya, harga komoditas-komoditas akan menurun juga.
Itu harus diperhatikan sungguh-sungguh karena harga komoditas itulah yang menjadikan RI memperoleh berkah dalam neraca perdagangan antarnegara. Penurunan harga komoditas dunia akan memiliki dampak berlipat terhadap transaksi ekspor kita. Sebab, di sisi lain, kuantitas permintaan ekspor juga akan menurun.
Dengan demikian, Indonesia akan merasakan tekanan penurunan ekspor yang signifikan. Permintaan ekspor turun dan nilainya akan makin turun karena harga komoditasnya juga menurun.
Penurunan permintaan itu sebenarnya sudah terlihat. Menjelang akhir tahun yang dingin kali ini, terlihat masyarakat menahan belanja barang sekunder dan tersier. Mereka siap-siap menghadapi kenaikan biaya pemanas yang naik sangat tajam karena kenaikan harga energi. Itu membuat permintaan ekspor dari negara-negara seperti Indonesia mengalami penurunan.
Jika ancaman penurunan surplus neraca perdagangan itu terus berlanjut, dampaknya juga akan terasa di pasar keuangan. Itu tak lepas dari langkah The Fed yang terus menaikkan tingkat bunga di AS sehingga keuntungan neto investasi keuangan di AS justru meningkat. Dampaknya, banyak investor portofolio menarik dananya dari pasar modal dan pasar uang, yang lalu dikonversi ke USD.
Itulah yang membuat permintaan terhadap USD pekan lalu naik cukup tajam. Indeks harga saham gabungan (IHSG) menurun hingga meninggalkan angka psikologis 7.000. Selain itu, rupiah terjerembap ke level Rp 15.500 per USD.
Posisi Indonesia atas AS memang bisa selalu tidak menguntungkan dari dua transmisi, perdagangan dan moneter. Saat pasar keuangan AS membaik karena berbagai kebijakan moneter, pasar keuangan Indonesia akan terdampak akibat adanya capital outflow. Apalagi, pasar keuangan kita didominasi hot money yang memang sewaktu-waktu masuk atau keluar. Jika itu yang terjadi, rupiah akan mengalami tekanan karena investor akan mengonversi rupiahnya ke dolar.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: