Bayi Gagal Ginjal Akut: Ali Meninggal 17 Hari Setelah Demam

Bayi Gagal Ginjal Akut: Ali Meninggal 17 Hari Setelah Demam

Muhammad Ali Subadar (berdiri) bersama keluarganya.-Dokumentasi Keluarga-

SURABAYA, HARIAN DISWAY - Gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) masih menghantui masyarakat. Apalagi korbannya adalah anak-anak. Penyakit ini bisa sangat cepat merenggut nyawa anak. Seperti yang dialami Muhammad Ali Subadar Hidayatullah yang meninggal 21 Oktober lalu. Batita 14 bulan itu hanya bertahan 17 hari sejak gejala demam pertama kali menyerang. 

”Badannya kayak gak sakit. Sampai meninggal pun badannya bugar,” terang M. Sufian Sauri, ayah dari Muhammad Ali Subadar saat dihubungi Harian Disway, Minggu, 23 Oktober 2022. 

Ia kaget ketika hasil pemeriksaan laboratorium anaknya menunjukkan positif gangguan ginjal akut. Sebab, semua gejala yang dialami pun terjadi begitu cepat. Sufian pun baru tahu belakangan bahwa obat sirup ternyata berisiko terhadap kesehatan anaknya. 

Seminggu pertama saat sang buah hati demam, ia memberi obat sirup Paracetamol. ”Saya nggak kepikiran wong dari dulu minumnya sirup kalau demam. Tak kasih sirup juga langsung sembuh,” jelasnya. 

Setelah itu, putranya mengalami gejala-gejala yang lebih berat. Dari dehidrasi, susah kencing, mual, hingga tidak nafsu makan. setelah dipastikan gangguan ginjal akut, warga Pasuruan itu dirujuk ke RSUD dr Soetomo. Ali sempat menjalani empat kali cuci darah. Namun nyawanya tak tertolong lagi. 

Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengatakan, salah satu tanda kuat gagal ginjal akut adalah intensitas buang air kecil sangat rendah. Bahkan 6-8 jam pertama sejak bangun tidur bisa tidak kencing sama sekali. ”Dan warna air seninya itu pekat atau gelap,” ungkapnya.

Maka bagi orang tua yang mengetahui anak-anak bergejala demikian, sebaiknya langsung dilarikan ke rumah sakit. Tidak perlu menunggu munculnya gejala lain. Itu bentuk pencegahan yang penting.

Sebab, kata Windhu, semua risiko bergantung pada penanganan yang cepat. Makin cepat risikonya makin kecil. Begitu pula sebaliknya. ”Semua penyakit akan memburuk. Kalau penanganan terlambat jelas akan masuk ke stadium lebih besar,” katanya.

Menurutnya, para pasien bisa dinyatakan sembuh apabila gagal ginjal akut mereka teratasi. Yakni dengan pemberian antidotum bagi yang darahnya mengandung zat Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). 

Artinya, tidak semua pasien sembuh dengan cuci darah. Sebab, cuci darah hanya untuk pasien yang masuk stadium lebih besar. ”Kalau stadium satu nggak perlu. Ingat, gangguan ginjal akut itu belum tentu gagal ginjal,” jelasnya.

Mengenai obat fomepizole yang bakal didatangkan dari luar negeri, kata Windhu, obat itu bukan bagian dari prosedur cuci darah. Melainkan sebagai penangkal terhadap zat EG dan DEG.

”Jadi yang dikasih fomepizole itu hanya pasien yang memang sudah diketahui di dalam darah atau urinenya mengandung dua senyawa itu,” tandas Windhu. Sementara fomepizole tidak bermanfaat bagi pasien gangguan ginjal akut yang penyebabnya bukan EG dan DEG.

Kementerian Kesehatan mendatangkan sebanyak 200 vial fomepizole dari Singapura dan Australia. Antidotum itu masuk melalui skema percepatan akses. Sehingga tidak perlu mendapat izin penggunaan darurat dari Badan POM.

Kepala Badan POM Penny Lukito mengatakan, cemaran EG dan DEG dalam obat sirup sebetulnya berasal dari empat zat pelarut. Yaitu propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin. Dari proses pelarutan itulah muncul senyawa EG dan DEG.

Sumber: