Mengembangkan Mutu dan Reputasi PTNBH Kelas Dunia
PENULIS saat menghadiri sidang paripurna Majelis Senat Akademik Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum di Yogyakarta.-Dokumentasi Pribadi-
Malaysia turun dari posisi 23 ke 24. Demikian pula dengan Singapura, dari posisi 31 turun peringkat menjadi 37. Thailand turun ke posisi 41 dari sebelumnya ranking 40.
Masalahnya adalah, kualitas artikel jurnal dari para penulis dari Indonesia masih harus diperjuangkan. Sitasinya rendah. Harus diakui, mutu dan inovasi kebaruan artikel dari penulis Indonesia masih kurang. Sehingga tidak banyak yang layak dikutip atau disitasi penulis lain. Tidak sedikit artikel penulis Indonesia umumnya hanya terbit di jurnal Q4, bahkan di jurnal internasional yang belum tergolong bereputasi, apalagi termasuk jurnal Top-Tier.
Kedua, dukungan dana penelitian yang sangat rendah bagi PTN di Indonesia. Pendanaan riset di pendidikan tinggi Indonesia terbilang sangat rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Berdasar data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan World Bank 2019, anggaran dana riset Indonesia masih di angka 0,08 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka itu masih jauh di bawah Kamboja (0,12 persen) dan Filipina (0,14 persen).
Memang, menurut data terbaru, dana riset di Indonesia telah menunjukkan kenaikan anggaran, menjadi 0,1 persen. Meski meningkat, harus diakui bahwa dana penelitian itu didominasi oleh belanja pemerintah. Hanya 26 persen yang ditopang oleh sektor swasta.
Menurut data Kemendikbudristek, 20 persen dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk bidang pendidikan, hanya sepertiga dari anggaran yang masuk ke pusat. Dua pertiga sisanya masuk Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk anggaran pendidikan di daerah. Sepertiga anggaran di pusat itu pun masih dibagi-bagi untuk berbagai kementerian.
Kemendikbudristek sendiri selama ini hanya mendapat jatah sekitar 40 persen dari anggaran untuk pusat atau di bawah tiga persen dari APBN untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dana APBN untuk PTitu, kalau dibagi rata dengan jumlah mahasiswa di lingkungan PTN saja, maka anggaran pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi ternyata diperkirakan hanya sekitar USD 2.000 (Rp 28 juta) per lulusan. Jumlah itu tentu jauh dari memadai dan kecil sekali bila dibandingkan anggaran PT lain di negara tetangga. Menurut Plt Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Prof Nizam, anggaran 127 PTN di Indonesia hanya setara dengan anggaran National University of Singapore (NUS), salah satu PT di Singapura.
Terjebak
Untuk mendongkrak reputasi PTNBH di Indonesia agar terus meningkat dan diikuti oleh PTNBH potensial yang lain seperti ITS, Universitas Padjajaran, Universitas Diponegoro, Universitas Brawijaya dan lain-lain, harus diakui bukan hal yang mudah. Di tengah keterbatasan dukungan dana yang menopang, ruang gerak dan peluang PTNBH untuk memperbaiki reputasi kerap dihadapkan pada persoalan klasik: dana yang tidak memadai. Namun demikian, bukan berarti peluang untuk memperbaiki reputasi sama sekali tertutup.
Selain menjajaki dan mengembangkan riset dan kegiatan menulis artikel berkolaborasi dengan akademisi PT dari berbagai negara lain, yang tak kalah penting adalah bagaimana memperkukuh fondasi sosial PTNBH agar dapat meningkatkan reputasi dan kualitas PT secara berkelanjutan.
Mengejar ranking PTNBH bukanlah tujuan utama. Kenaikan ranking PTNBH harus dipahami sebagai konsekuensi logis perbaikan kinerja dan kualitas PTNBH. Untuk itu, yang terpenting adalah menjaga jangan sampai PTNBH terjebak dalam praktik-praktik pragmatis, apalagi tindakan yang non-etis untuk mengejar raihan ranking PT.
Memastikan kinerja para akademisi tetap berjalan pada relnya dan mendorong aktivitas akademisi menulis harus dikembangkan dengan cara membangun academic cultural yang kondusif.
Sudah menjadi tugas akademisi untuk menulis dan menghasilkan karya-karya akademik. Masalahnya adalah bagaimana memastikan agar karya yang dihasilkan para akademisi di Indonesia bukan diperoleh dari cara-cara yang melanggar moral akademik, sehingga kebanggaan akan kenaikan peringkat betul-betul disokong oleh integritas moral yang bisa dipertanggungjawabkan. Bagaimana pendapat Anda? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: