Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (6): Teror Telepon

Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (6): Teror Telepon

Ruang karantina di Fuzhuo. Setiap orang menempati satu kamar sendiri-Novi Basuki-Harian Disway-


Petugas mengantarkan sarapan ke kamar-kamar penghuni ruang karantina di Fuzhou-Novi Basuki-Harian Disway-

Tapi ia ogah jadi PNS. Karena merasa tak akan punya kebebasan. "Bikin sesak napas," kata Zhang, sebagaimana dikutip banyak media online di Tiongkok. Makanya, ia lebih memilih berkarier di swasta.

Benar saja. Tak direpotkan oleh jelimetnya urusan administratif pemerintahan, Zhang berhasil membuat Foxmail tiga tahun kemudian. Kalau Anda pernah menggunakan email buatan Zhang ini, berarti Anda sudah bukan cah enom lagi seperti Pak Amal.

Zhang langsung terkenal sehabis meluncurkan surel garapannya itu. Tapi, tetap saja dia tak punya cukup banyak uang. Hidupnya luntang-lantung.

Maklum, di tahun 1997 itu, yang sekarang jadi triliuner gara-gara adanya internet di Tiongkok, masih kere-kere semua. Richard Liu Qiangdong 刘强东 (25), bosnya e-commerce JD.com, masih jualan kaset di Beijing. Ponny Ma 马化腾 (26), pendiri raksasa teknologi Tencent, masih jadi buruh di Shenzhen. Jack Ma (33), masih jadi "DJ" di sebuah rumah makan di Beijing. Bukan disc jockey. Tapi tukang cuci piring. Gerakannya mirip, kan?

Padahal, jelas-jelas Zhang bisa kaya raya duluan. Toh, di saat yang lain masih nolep, Zhang sudah punya peluang besar untuk jadi tajir melintir. Dengan, seperti disarankan teman-temannya, tidak menggratiskan Foxmail, misalnya.

Tapi, Zhang tidak mau. Dia lebih suka menjadi "pengangguran pengembara" (无业游民). Begitu Harian Rakyat (人民日报) edisi 26 Maret 2000 menuliskan sosok Zhang. 

Untungnya, pada 2005, Tencent mau membeli Foxmail –setelah sebelumnya di-PHP oleh satu perusahaan yang awalnya mantap mau beli tapi tiba-tiba membatalkannya. Kantong bolong Zhang pun tertolong. 

BACA JUGA:Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (5): Karantina Marah-Marah

Sejak Foxmail dijual ke perusahaan Ponny Ma itulah, Zhang ikut boyongan ke Shenzhen. Yang jaraknya dari Guangzhou seperti Jakarta ke Bandung. 

Tak lagi mengurus Foxmail, Zhang terus berinovasi di rumah barunya itu. Mungkin karena introvert tidak suka bicara, enam tahun di Tencent, 2011, Zhang bikin gebrakan baru: meluncurkan WeChat. Yang terus di-update tidak hanya untuk chatting, tapi menjelma menjadi superapps yang serbabisa.

Untuk swab itu, contohnya. Dari mulai pendaftarannya, pembayarannya, hingga pengecekan hasilnya, semua dilakukan lewat WeChat. Tanpa WeChat, kami tidak akan bisa swab; tanpa swab, kami tidak akan bisa tinggal dan ke mana-mana di Tiongkok. 

Makanya, selama di Tiongkok, punya WeChat adalah fardu kifayah –kalau Anda perginya bareng-bareng dan teman Anda fine-fine saja direcoki terus-menerus oleh Anda. Namun, akan jadi fardu ain kalau Anda hanya sendirian ke Tiongkok.

Cepat-cepat saya daftarkan swab Pak Yusuf, Pak Amal, dan Pak Rois lewat WeChat saya. 

Beres. Saya lanjut tidur.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: