Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (6): Teror Telepon
Ruang karantina di Fuzhuo. Setiap orang menempati satu kamar sendiri-Novi Basuki-Harian Disway-
Belum juga terlelap, telepon berdering lagi untuk ketiga kalinya.
Lagi-lagi petugas itu.
"Apakah teman-teman Anda sudah didaftarkan swab?"
"Sudah semua."
"Terima kasih bantuannya. Maaf mengganggu istirahat Anda."
Saya mengelus dada, sambil bergumam dalam hati, "Kalau hasil swab positif, ini bukan karena tertular virus. Tapi karena diteror telepon."
Terpikir oleh saya untuk mencabut kabel teleponnya. Supaya tidak nyambung kalau ditelepon lagi. Tapi saya urungkan. Takut kena pasal. Soalnya saya tidak punya hak imunitas untuk mematikan mikrofon, eh telepon.
Ya sudah. Saya lanjut tidur lagi.
Belum juga terlelap, Pak Amal telepon WA.
"Pak Novi, saya butuh bantuan. Petugas telepon saya terus," ibanya.
Di grup WA, Pak Yusuf juga meronta, "Helooo, apakah sudah tidur? Saya diteror petugas."
Saya ketawa. Berarti bukan cuma saya yang menderita.
Pun petugasnya, pastilah puyeng jua. Mau bicara dengan Pak Yusuf dan Pak Amal, tak mungkin nyambung: petugasnya tidak bisa bahasa Inggris, sementara Pak Yusuf dan Pak Amal tidak bisa bahasa Mandarin. Pakai bahasa isyarat? Mustahil. Ini voice call, bukan video call.
Saya coba tidur lagi, dan merasa beruntung karena yang membangunkan saya bukan dering telepon lagi, tapi ketukan pintu petugas yang mengantar makan pagi. (*/Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: