Catatan Perjalanan ke Tiongkok Saat Pandemi (7): Karantina 7+3
Jendela kamar karantina di Fuzhou diberi teralis agar penghuninya tidak keluar dari kamar.-Foto: Novi Basuki-Harian Disway-
Makanya, sepanjang tidak ada pemberitahuan apa-apa, kami anggap negatif semua hasil swab kami. Kami mau mengamalkan pepatah Tiongkok, "美意延年": berpikir positif akan memperpanjang umur.
Padahal, dulu, negatif adalah salah satu hal yang paling tidak diinginkan orang. Tapi, semenjak ada Covid, justru positif yang semua orang tidak mau. Dunia memang sudah memasuki era post-truth, kayaknya.
Namun, kata Wang Shouren, 王守仁, filsuf masyhur era dinasti Ming, berpikir saja belumlah cukup; harus dibarengi pula dengan bertindak (知行合一). Misal, supaya terus negatif, mesti rutin berolahraga.
Masalahnya, bagaimana cara berolahraga di ruangan yang hanya sekitar 3×4 meter --dengan ranjang, lemari baju, meja kerja, dan toilet di dalamnya?
Di depan kamar ada lorong panjang. Seperti lorong sya'i di Masjidil Haram. Saya telepon petugas jaga, menanyakan apakah bisa kami lari-lari kecil di sana. Mereka jawab tidak boleh keluyuran. Harus tetap di kamar selama karantina.
"Kalau ke kamar sebelah gimana? Teman saya ada di sana," tanya saya.
"Tidak boleh. Harus di dalam kamar terus sampai boleh keluar," tegas petugasnya.
Pupuslah sudah harapan kami untuk bisa jogging. Kudu cari cara lain.
"Saya sudah naik turun pembatas pintu kamar 1.000 kali. Saya bisa keluar karantina dengan langsing nanti," tulis Pak Amal di grup WA.
Pak Amal memang banyak sekali idenya. Pembatas pintu –yang supaya kalau lorong dipel, air tidak masuk kamar-- bisa-bisanya disulap jadi alat untuk olahraga.
Pak Yusuf, Pak Rois, dan saya pun menirunya. Kami buka pintu kamar, lalu kami naik-turunkan kaki seperti sedang naik-turun tangga. Benaran lumayan bisa membuat kami keringatan.
Tapi, ketika kelihatan petugas datang, kami buru-buru menutup pintu.
Pak Amal pernah diomeli karena pintu kamarnya sering dibuka. Padahal, di depan kamarnya, kata Pak Rois, ada nonik cantik yang bagus buat cuci mata. Saya tak tahu benar/tidaknya. Cuma, kalau dari frekuensi Pak Amal buka pintu buat alasan olahraga, kayaknya ada benarnya. Ditambah lagi, dari kamarnya sering terdengar lagu Pria Idaman-nya Bunda Rita.
Akhirnya saya menemukan alternatif: pintu toilet. Pembatasnya jauh lebih tinggi ketimbang pembatas pintu kamar. Jelas jauh lebih cepat untuk membakar lemak, yang sepertinya saya tak punya stok yang banyak.
Lebih enaknya lagi, ketika dibuka, pintu toilet tidak membunyikan alarm seperti pintu kamar. Pintu kamar kelewat bawel. Sekali dibuka, alarmnya nyaring berbunyi tanpa henti. Seperti bunyi alarm pintu bui saat napi kabur di film-film aksi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: