Catatan Perjalanan ke Tiongkok Saat Pandemi (7): Karantina 7+3

Catatan Perjalanan ke Tiongkok Saat Pandemi (7): Karantina 7+3

Jendela kamar karantina di Fuzhou diberi teralis agar penghuninya tidak keluar dari kamar.-Foto: Novi Basuki-Harian Disway-

Untuk menghentikan bunyinya yang berisik itu, kami harus masuk kamar lagi. Kemudian menyentuh ikon tes suhu di LCD yang ada di tembok kamar. Lalu mendekatkan telapak tangan ke sensor tes suhunya. Baru alarmnya mingkem.


Alat pengukur suhu yang menempel di dinding kamar. Setiap kali masuk kamar harus mengukur suhu dan melaporkan ke petugas.-Novi Basuki-Harian Disway-

Berarti, begitu keluar kamar, kami diasumsikan telah terserang virus. Makanya, suhu tubuh harus dites untuk memastikan positif/tidaknya. Kalau suhunya ternyata tinggi, petugas kesehatan akan langsung datang.

LCD di tembok itu memang terhubung dengan pusat kesehatan gedung karantina. Selain untuk mengecek suhu tubuh, kami bisa video call dengan petugas kesehatan di sana. Petugas kesehatan pun bisa menelepon kami lewat alat itu. Atau, jangan-jangan, kalau kameranya tidak ditutup, juga bisa digunakan untuk memata-matai kami?

Entahlah. Yang pasti, tiap sehabis sarapan dan makan malam, LCD itu selalu bunyi. Menyampaikan pengumuman bahwa telah tiba waktunya untuk cek suhu tubuh.

Ya, selama karantina, kegiatan kami cuma begitu-begitu saja. Pak Rois yang kamarnya di sebelah kamar saya tiap hari telponan dengan koleganya di Juwana, mengontrol dari jarak jauh kapal-kapal penangkapan ikan yang dioperasikan perusahaannya. Pak Amal yang kamarnya di sebelah Pak Rois, tiap hari Twitter-an sambil dangdutan dan tak lupa minum kopi sasetan. Pak Yusuf yang kamarnya di lantai dua, rutin menanyakan kapan kami akan keluar karantina --pertanda sudah tak sabar ingin merasakan kebebasan.

Seperti Pak Yusuf, orang-orang Tiongkok yang dikarantina barsama kami juga merasakan kebosanan yang sama. Saya lihat postingan WeChat salah satu dari mereka. "Aku bela-belain pulang untuk merayakan Hari Kemerdekaan, sekarang malah aku sendiri yang tidak merdeka," tulisnya, sambil menyertakan foto tangannya yang memegang teralis jendela kamar karantina.

Saya telepon penjaga. Menanyakan berapa lama kami harus karantina. 

"Tujuh hari di sini. Tiga hari di rumah masing-masing," jawabnya.

Saya syok.

"Berarti total sepuluh hari?" tanya saya, memastikan saya tak salah dengar.

"Betul," sahutnya, datar.

"Kami warga negara asing. Tidak punya rumah di Tiongkok. Apakah bisa tiga hari itu di hotel?" tanya saya lagi.

"Tidak ada hotel yang berani menerima orang yang QR code kesehatannya warna kuning," jawabnya.

"Maksudnya gimana?" tanya saya, minta penjelasan lebih detail.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: