Pengeboman Mapolsek Astana Anyar, Deradikalisasi Gagal

Pengeboman Mapolsek Astana Anyar, Deradikalisasi Gagal

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Bom bunuh diri lagi. Di Mapolsek Astana Anyar, Bandung, Rabu (7/12). Pelaku Agus Sujatno, 34, tinggal di Sukoharjo, Jateng. Pihak DPR RI mengatakan, BNPT kecolongan. Sebaliknya, BNPT menjawab.

”SULIT membaca pemikiran pelaku terorisme,” kata Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar dalam keterangan pers Rabu, 7 Desember 2022.

Dilanjut: ”Ideologi terorisme dari alam pikiran. Apakah kita bisa serta-merta membaca alam pikiran, isi kepala, semua warga bangsa Indonesia?”

Biasa, gaya Indonesia. Jika sudah terjadi, disusul salah-menyalahkan. Meski dalam bentuk halus, tersamar: ”Kecolongan”. 

Sebaliknya, Densus 88 Antiteror Polri aktif berjuang melindungi calon korban teroris. Malah dikritik terlalu keras terhadap teroris.

Zachary M. Abuza dalam bukunya, The Rehabilitation of Jemaah Islamiyah Detainees in South East Asia (2008), menuliskan, Indonesia termasuk menganut cara modern dalam pengendalian terorisme. Antara lain, dengan program deradikalisasi.

Abuza adalah guru besar bidang politik dan keamanan Asia Tenggara di National War College, Washington DC, Amerika Serikat (AS). Di bukunya itu ia membanding-bandingkan cara pengendalian terorisme di Asia. Indonesia tergolong maju jika dibandingkan dengan Pakistan, Thailand, Malaysia, Singapura. Terkuno Pakistan.

Uraian Abuza di bukunya tentang Indonesia mayoritas sesuai dengan kondisi sebenarnya. Di antaranya, pemerintah melibatkan ulama moderat yang aktif memberikan tausiah Islam sesungguhnya, melarang tindak kekerasan, apalagi pembunuhan. Orang yang dibunuh kebanyakan sesama Islam.

Dibandingkan dengan di Pakistan, yang dinilai cenderung membiarkan terorisme. Di sana teroris memang ditangkap, dihukum. Tapi, pemerintah mengabaikan wacana konflik Syiah versus Sunni. 

Dinilai, kondisi konflik Syiah-Sunni di Pakistan itu menyuburkan terorisme. Karena dasar terorisme adalah intoleransi atau membiarkan konflik perbedaan keyakinan beragama. Intoleran meningkat jadi radikalisme. Meningkat lagi jadi teroris.

Di Indonesia, menurut buku itu, pemerintah merehabilitasi teroris berisiko tinggi. Memisahkan penjara antara teroris berisiko tinggi dengan yang rendah, atau radikalis pemula. Itu, menurutnya, sudah betul. Karena jika dicampur, bisa terjadi penularan. Contohnya di Pakistan.

Indonesia menggunakan teroris berisiko tinggi, yang telah direformasi, untuk memengaruhi militan dan tersangka teror. 

Di Indonesia persis seperti dilakukan di Arab Saudi. Yang juga memisahkan penjara teroris berisiko tinggi dengan yang rendah. Juga, menggunakan teroris yang sudah direformasi untuk memengaruhi calon teroris agar tak perlu jadi teroris.

Abuza menyarankan Pakistan meniru cara Indonesia, deradikalisasi teroris. Agar teroris yang pernah dihukum tidak membunuh lagi. Bahkan, sebaliknya, bisa memengaruhi calon teroris agar tidak melakukan teror. Sebab, teroris bisa dari orang beragama apa saja.

Sumber: