Pilih Moral atau Uang Turis?

Pilih Moral atau Uang Turis?

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Implementasinya tiga tahun mendatang. Fokus di hotel-hotel. Jika ada tamu pria dan wanita pesan satu kamar, mereka mungkin akan diminta surat nikah. Tapi, tidak ada aturan hukum yang mewajibkan pihak hotel begitu.

Itulah yang direaksi pihak Australia. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia melalui juru bicara imigrasi Australia, dikutip dari Smart Traveler Kamis (8/12), mengumumkan begini.

”Parlemen Indonesia telah meloloskan revisi hukum pidana yang mencakup hukuman untuk kohabitasi dan seks di luar nikah.”

Dilanjut: ”Kita perlu memastikan semua orang mengetahui undang-undang baru ini, karena hal terakhir yang ingin kita lihat adalah orang-orang yang tertangkap basah melakukan sesuatu yang menurut undang-undang Indonesia tidak boleh mereka lakukan. Bahkan, ketika apa yang mereka lakukan benar-benar legal (di Australia).”

Dikutip dari portal informasi Indonesia, Indonesia.go.id, rerata turis asing ke Indonesia membelanjakan sekitar USD 1.100 (Rp 17,11 juta, kurs Rp 15.700 per USD) per orang.

Jika turis Australia ke Indonesia sejuta orang per tahun, ada capital inflow dari turis Australia sekitar Rp 17,11 triliun per tahun.

Australia sudah menerbitkan travel warning ke Indonesia. Belum bisa dihitung, berapa kemerosotan devisa masuk dari situ, terkait travel warning, sekarang dan saat KUHP zina itu diterapkan pada 2025.

Ada lagi. Juru Bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Ned Price menyoal pasal zina itu juga. Nadanya mengancam iklim investasi dari AS ke Indonesia.

Di konferensi pers, dikutip dari AFP, ia mengatakan, ”Kami juga prihatin tentang bagaimana undang-undang tersebut dapat berdampak pada warga AS yang berkunjung dan tinggal di Indonesia serta iklim investasi bagi perusahaan AS.”

Bisa ditafsirkan, investasi AS ke Indonesia punya konsekuensi datangnya ekspatriat ke sini. Kalau berzina di Indonesia, mereka melanggar Pasal 411 KUHP.

Pemerintah Indonesia sudah menanggapi itu. Plt Dirjen Peraturan Perundang-undangan, Kemenkum HAM, Dhahana Putra dalam siaran pers, Rabu (7/12), menjelaskan.

”Secara a contrario, pengaturan itu menutup ruang dari masyarakat atau pihak ketiga lainnya untuk melaporkan terjadinya tindak pidana tersebut, sekaligus mencegah terjadinya perbuatan main hakim sendiri.” 

Dilanjut: ”Itu karena suatu pengaduan juga tidak dapat dipilah-pilah. Artinya, tidak mungkin dalam pengaduan hanya salah satu pelaku yang diproses sehingga keputusan untuk membuat pengaduan itu juga akan betul-betul dipertimbangkan mereka yang berhak mengadu.”

Gampangnya begini: Pasal 411 kan delik aduan. Orang yang berhak mengadu diatur di ayat 2. Tidak sembarang orang boleh mengadu. Pun, seandainya tidak ada pengaduan, ya... aman-aman saja.

Diakhiri: ”So, please come and invest in remarkable Indonesia.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: