Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Dimulai dari Kisah Daendels (1)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Dimulai dari Kisah Daendels (1)

Potret Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels dalam sebuah lukisan..-Publiek Domein-

Ada sejarah panjang di balik konflik agraria terbesar di Indonesia: Surat Ijo Surabaya. Sebanyak 48 ribu keluarga tinggal di persil yang diklaim sebagai aset Pemkot Surabaya. Jika ditarik mundur, kisahnya dimulai dari era kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels (1808-1811).

Nama Daendels sudah banyak disebut di buku-buku sejarah sejak sekolah dasar. Peninggalannya juga masih ada dan dirasakan sampai sekarang: Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang menghubungkan ujung timur dan barat Jawa. Dari Anyer sampai Panarukan.

Proyek ambisius  sepanjang 1.000 kilometer lebih itu ia selesaikan dalam satu tahun (1908). Ia menyadari konektifitas antar kota di Jawa adalah kunci penting pembangunan Hindia Belanda kala itu.

Belanda memperkuat Pulau Jawa sebagai basis militer sekutunya: Perancis. Sekaligus mempertahankan daerah koloni dari pasukan Inggris di Kawasan Samudra Hindia.  Jalan Raya Pos itu dibangun untuk memudahkan mobilisasi pasukan dan logistik perang. 

Rata-rata lebarnya mencapai 7,5 meter. Di kanan kirinya dibangun selokan dan lapisan batu agar jalan tidak tergenang air. 

Kisah Daendels dan Jalan Raya Pos itu sempat ramai diperbincangkan di twitter. Akun @mazizini_gsp mengunggah artikel bahwa Daendels sudah memberikan 30 ribu ringgit lebih untuk gaji dan konsumsi pekerja dan mandor. Sudah diberikan ke para bupati, tapi uangnya tidak sampai ke pekerja.  “Akhirnya kita tahunya itu kerjaan gak dibayar (kerja paksa),” tulis Mazzini.

Pembangunan Jalan Daendels itu butuh investasi besar. Opsi tercepat untuk mendapatkan uang itu adalah menjual tanah pemerintah Hindia-Belanda ke pihak ketiga. Yang kemudian dikenal sebagai istilah partikelir (swasta). 

“Tanah partikelir ini tidak hanya di Surabaya. Di jabar dan semarang ada. Cuma, yang masih jadi persoalan dan tidak pernah selesai ada di Surabaya,” ujar Pakar sejarah Unair Prof Purnawan Basundoro dalam acara bedah buku Reforma Agraria Setengah Hati karya mendiang Dr. Sukaryanto April 2021.

 

Buku itu membedah sengkarut persoalan Surat ijo. Mulai dari sejarah hingga persoalan hukumnya.

Purnawan memiliki peta Surabaya awal abad 19. Ditemukan di buku H.F. Tillema “Kromoblanda”.  Peta itu ia berikan ke Almarhum Doktor Sukaryanto dan dicantumkan di bukunya. 

Terdapat arsiran di peta itu. Yang kalau dilihat secara kasat mata menunjukkan bahwa separo Surabaya dikuasai swasta. 

Pemilik tanah punya hak pertuanan. Yang bisa menyewakan tanah ke penduduk. “Jadi mirip negara dalam negara,” kata Purnawan yang menulis disertasi Merebut Ruang Kota itu.

Penduduk yang menyewa wajib mengolah tanahnya, plus membayar ke tuan tanah. Inilah nenek moyang lahirnya sistem sewa tanah yang kemudian diperhalus dengan istilah retribusi.

Sistem yang puluhan tahun dilawan pejuang surat itu rupanya lahir di era kolonial. Lalu  dipertahankan hingga 77 tahun Indonesia merdeka. (Salman Muhiddin,bersambung)

 

Dijual Daendels, Dibeli Lagi oleh Gemeente Surabaya, BACA BESOK!

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: