Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Meneruskan Layang Ijo Zaman Kolonial (5)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Meneruskan Layang Ijo Zaman Kolonial (5)

Foto udara Kawasan Wonokromo zaman dulu. Seiring urbanisasi banyak hunian bermunculan di sana. Beberapa wilayah tercatat sebagai tanah surat ijo.-KITLV-

Istilah surat ijo populer tahun 1970 an. Warga mendapat surat izin pemakaian tanah (IPT) dari pemkot yang diletakkan di map berwarna hijau. Jauh sebelum itu, istilah surat ijo sebenarnya juga dipakai pemerintah kolonial Belanda.


Warga yang tinggal di bekas tanah partikelir (swasta) milik Gemeente Surabaya (1906-1942) harus memperbarui perjanjian sewa tanahnya setiap tahun. 

Perpanjangan diberikan setelah. Perjanjian itu ditulis di kertas warna hijau. “Dulu dikenal dengan istilah layang ijo,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Budaya Prof Purnawan Basundoro dalam bedah buku Reforma Agraria Setengah Hati karya Dr Sukaryanto, 9 April 2021.

Warga yang sepakat dengan perjanjian sewa baru harus membubuhkan cap jempol di layang ijo tersebut. Kebiasaan di pemerintahan Belanda ini kemudian tetap diteruskan hingga Indonesia merdeka. 

Jumlah tanah partikelir yang dikuasai gemeente kala itu sangat luas. Hingga tahun 1930 luasnya mencapai 10.550.020 meter persegi. Tersebar di 15 tempat. 

Tanah itu dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Ada juga yang dijual ke perorangan dan swasta untuk bisnis dan permukiman. Sementara 7,9 juta meter persegi belum dimanfaatkan.

Nah tanah yang belum dimanfaatkan itu mayoritas berbentuk permukiman yang sudah berpenghuni Dahulu mereka bayar ke tuang tanah pakai setoran tenaga dan setoran wajib. Setelah dibeli gemeente, mereka diminta bayar uang.  

Purnawan menerangkan bahwa kondisi pertanahan Surabaya pasca kemerdekaan mengacu pada dua hal. Pertama, tanah yang telah dikuasai oleh gemeente dan menjadi warisan pemkot. Kedua, tanah partikelir yang belum sempat dibeli. Sementara pemiliknya sudah kembali ke negara masing-masing.

Yang sudah dikuasai langsung diambil alih hak sewanya oleh pemkot. “Sistem tuan tanahnya diteruskan,” ujarnya.

Sementara warga yang kehilangan tuan tanahnya tetap bisa tinggal di tanah partikelir itu. Sampai nantinya pemerintah pusat mengeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1952 tentang Pemindahan dan Pemakaian Tanah-Tanah dan Barang-Barang Tetap. 

Pemerintah juga mengeluarkan SK Menteri Kehakiman No. J.S. 5/1/19 pada 7 Januari 1952 yang mengatur tata cara permohonan izin di UU tersebut. Ketentuan ini diberlakukan agar aset  tersebut tidak berpindah kepada pemilik asing yang kelak akan merepotkan negara.

Tanah partikelir harus kembali ke negara dan rakyat. Sebab keberadaannya bertentangan dengan dasar negara. 

Dalam penyelesaian upaya tersebut, terjadi urbanisasi besar-besaran di Surabaya. Itu memperumit situasi pertanahan di Surabaya. (Salman Muhiddin)

Kampung Baru Menjamur di Tanah Partikelir, BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: