Natal dan Agama Sains
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Sedangkan cara beragama metafisika mengandaikan alam sebagai penentu segalanya ketimbang kekuatan supranatural dan mitos. Kekuatan supranatural diekspresikan dalam benda-benda alam. Mentransformasi kekuatan Tuhan ke dalam bentuk fisik yang nyata.
Sementara itu, beragama secara ilmu menjadikan teks sebagai sumber nilai yang bisa ditafsirkan sesuai dengan konteksnya. Para ilmuwan menyebutnya dengan istilah Islam kontekstual. Menjadikan teks agama kontekstual dengan zaman dan peradaban manusia yang berkembang.
Mereka yang telah mencapai tahap terakhir itu biasanya mengekspresikan keyakinan beragamanya dengan ringan. Menjadikan agama sebagai tuntunan yang mengarahkan umat manusia dalam kehidupan sehari-hari secara aplikatif.
Dalam Islam, Kiai Bahaudin Nursalim yang akrab dipanggil Gus Baha adalah sosok pemimpin agama sains itu. Masih banyak lagi contoh dari tokoh agama yang memahami agama secara moderat. Mereka umumnya punya basis pemahaman ilmu agama yang kuat.
Tapi, seperti juga dalam perubahan sosial, tahap-tahap itu tidak berjalan linier. Seperti tangga secara berurutan. Setiap tahap tersebut bisa saling beririsan dalam setiap kelompok masyarakat. Demikian juga terjadi di dalam umat beragama.
Tapi, yakinlah, perubahan itu akan berlangsung terus. Tidak akan pernah perubahan berjalan mundur. Demikian pula dalam hal pemahaman beragama. Bisa saja kini kita masih menyaksikan kelompok agama teologis yang mengingkari paham agama sebagai realitas sosiologis.
Itulah tugas para pemimpin semua agama. Meyakinkan umatnya bahwa keyakinan agamanya bermakna bagi kehidupan manusia. Menjadikan setiap perbedaan sebagai rahmat. Dengan tetap yakin Tuhan yang kita yakini adalah benar.
Saya setuju dengan Gus Dur: Tuhan tak perlu dibela. Yang perlu dibela adalah keadilan di muka bumi ini. Demi peradaban yang menyejahterakan. Peradaban yang mendamaikan untuk kehidupan bersama.
Asyik kan? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: