Cipta Mahfud-Ramli

Cipta Mahfud-Ramli

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

Kalau ia merasa harga dirinya sudah tersinggung oleh pernyataan orang lain, berarti memang sudah dianggap berlebihan. Omongan Rizal tentang ia sudah dianggap di luar kapasitasnya sebagai pejabat publik yang memang harus terus berkomunikasi dengan masyarakat.

”Ketika Rizal bilang Mahfud MD itu intelektualnya merosot dan menjadi penjilat, itu kan nggak ada hubungannya dengan yang kita diskusikan. Saya bilang, kamu yang bodoh dan ngawur, kan gitu, kan setara itu,” kata Mahfud kali terakhir di Jakarta.

Kalaupun Mahfud harus menjelaskan tentang Perppu Cipta Kerja yang kontroversi, memang itu sudah menjadi salah satu tugasnya. Ia harus menjadi salah satu penyampai visi dan kebijakan presiden atau pemerintah. 

Apalagi, Mahfud bisa menjelaskan argumen hukumnya di balik keputusan pemerintah itu. Tidak mungkin dan seharusnya demikian ia membawa suara pemerintah di hadapan publik. Tidak seperti ketika Rizal Ramli yang terkesan memiliki visi sendiri ketika menjadi menteri di kabinet Jokowi dalam waktu yang singkat.

Bahwa dalam sistem demokrasi setiap kebijakan harus melampaui dulu proses debat publik, itu ya. Di berbagai negara, setiap kebijakan publik melalui proses panjang. Ada debat publik sedemikian rupa sampai ia menjadi sebuah kebijakan yang dijalankan.

Itulah yang membuat birokrasi pemerintahan tidak bisa bertindak cepat seperti korporasi. Setiap tahap dari kebijakan harus melalui proses panjang. Melibatkan sebagian besar pendapat publik sesuai dengan konstitusi atau perundang-undangan masing-masing negara.

Namun, suara publik tidak bisa hanya direpresentasikan perseorangan. Kecuali ia memang menjadi anggota parlemen atau kelompok kepentingan dari sebuah masyarakat politik. Bukan pemain solo yang selalu mengatasnamakan suara publik. 

Kalaupun ada pemimpin opini publik, selalu saja pengaruhnya diukur melalui track record personalnya. Seseorang yang memang benar-benar dipercaya sebagai pembawa suara nurani rakyat. Bukan sekadar pernah ikut memerintah dan berani bersuara vokal sebagai oposisi pemerintah. 

Sayangnya, dengan adanya media sosial, percakapan publik menjadi sering kali tak terkendali. Misalnya, masuk ke ranah personal yang seharusnya tidak sampai terjadi. Seperti gegeran antara Mahfud dan Rizal Ramli yang dipicu kebijakan publik berupa Perppu tentang Cipta Kerja.

Ketika liberalisasi informasi yang dipicu revolusi digital terjadi, fungsi penyaring itu ada di lembaga pers. Yang dalam proses kerjanya diikat sebuah etika jurnalistik. Yang itu melekat pada profesi jurnalistik sebagai penyampai informasi publik dan lembaga pers.

Dalam menyampaikan setiap informasi, profesi jurnalistik dan lembaga pers selalu mempertimbangkan kelayakan berita dan kelayakan muat. Tidak semua yang layak diberitakan dianggap layak muat. Ketika itu bertentangan dengan norma-norma umum, sering kali peristiwa penting tak lolos muat.

Liberalisasi informasi menjadikan standar moral dalam berkomunikasi menjadi tanpa batas. Setiap orang bisa menyampaikan unek-uneknya. Secara sadar dan tanpa sadar, sering kali cara berkomunikasi seseorang mencerminkan sifat aslinya.

Saya tidak tahu rumus baru dalam percaturan wacana publik dalam platform media baru. Namun, tampaknya masih perlu upaya terus-menerus untuk membangun wacana publik yang lebih berkeadaban. Dengan begitu, demokrasi yang terbangun ikut berkeadaban pula.

Saya tahu visi Mahfud MD sebagai seorang akademisi maupun sebagai politikus. Ia bukan seorang pejabat negara yang biasa. Seorang pejabat yang selalu berani berbicara apa adanya. Bisa menjelaskan narasi kebijakan publik pemerintah secara lebih baik dengan tanpa beban.

Bahwa ia harus menjadi bagian dari visi presiden dan pemerintahan, itu sudah seharusnya. Justru aneh kalau mengharapkan ia berani berbeda dengan presiden seperti Rizal Ramli yang pernah lakukan saat di pemerintahan. Sebab, tidak ada visi menteri dalam sistem presidensial.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: