Bunuh Bocah, Akan Jual Organ di Makassar

Bunuh Bocah, Akan Jual Organ di Makassar

-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

”Tahu dari mana?”

”Internet. Tapi, e-mail-nya ndak dibalas. Terus panik.”

”Kalau jual, uangnya buat apa?”

”Buat orang tua. Karena saya terus disuruh cari uang.”

Dalih tersangka, disuruh cari uang ortu, belum tentu benar. Mungkin cuma untuk memberikan semangat. Di masyarakat tradisional, anak laki usia 17 memang bekerja ala kadarnya. Tapi, buat mereka yang miskin. Padahal, ortu AR punya toko kelontong.

Bahwa generasi Z cenderung mengincar ”jutaan dolar AS” tapi ogah kerja keras, sudah mengemuka. Mereka mengidolakan semacam Indra Kenz dan Donny Salmanan yang beberapa waktu lalu ditangkap polisi karena jadi tersangka penipuan via online. Kerja enteng, duit banyak.

Generasi Z, berdasar teori generasi Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall, Penguin (2004) adalah mereka yang lahir pada 1995–2010. Mereka tumbuh di zaman internet. Terbukti, tersangka AR dan AF memburu dolar AS melalui Yandex.

Sarah Damaske, guru besar sosiologi dan tenaga kerja dan asosiasi hubungan kerja di Penn State University, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS), dalam tulisannyi, mengatakan, generasi Z cenderung ogah kerja, tapi tetap ingin punya banyak duit.

Pernyataan Damaske itu dimuat di Vox edisi 22 April 2022, bertajuk Gen Z does not dream of labor. Bahwa karakter umum gen Z, ingin serbacepat. Cepat kaya.

Menurut Damaske, itu akibat gen Z dibesarkan di zaman dua resesi besar dunia. Pertama, megaresesi AS 2008. Kedua, resesi Covid-19 pada 2020. Dua resesi itu memukul warga dunia, menimbulkan penganggur dalam skala besar.

Resesi tersebut bukannya membuat gen Z bangkit, tapi malah sebaliknya, ogah kerja. Tapi, keinginan dasar manusia, tetap ingin punya banyak duit. Dan cepat. Secepat chat WhatsApp yang pengirimnya ingin cepat dibalas, setelah tanda centang biru.

Damaske: ”Banyak zoomer (gen Z) memasuki dunia kerja selama ekonomi dua kali terguncang itu. Maka, secara alami, itu memengaruhi sikap sosial mereka tentang pekerjaan.”

Tapi, mungkin tersangka AR dan AF tidak masuk analisis Damaske. Kejauhan. Ketinggian. Mereka cuma remaja biasa di Kota Makassar. Yang ingin cepat dapat ”jutaan dolar AS”. Meski, mereka sudah berkelana ke Yandex, yang umumnya masyarakat kita menggunakan Google.

Parahnya, para tersangka tidak mampu mengonkretkan antara transaksi online dan realitas: Bagaimana cara menyerahkan jeroan itu kepada calon pembeli? Apakah tubuh korban dibedah, diambil jeroan, lalu dimasukkan termos es, lantas dikirim DHL? Atau bagaimana?

Di situ tugas penyidik mengurai, adakah kemungkinan bahwa calon pembeli sebenarnya sudah ada di dekat mereka secara offline? Masak, setelah eksekusi, kemudian mereka bingung dan panik? Bukankah itu sudah direncanakan? (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: