Lawan Diskriminasi Sawit Eropa, Strategi Indonesia dan Malaysia Harus Searah
-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
Dalam kunjungan kenegaraan ke Indonesia pekan lalu, Perdana Menteri Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim mengajak Presiden Joko Widodo untuk melawan berbagai bentuk diskriminasi dagang Uni Eropa terhadap minyak sawit.
Karena itu, Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen minyak sawit terbesar dunia harus bekerja sama lebih erat untuk melawan diskriminasi dan kampanye negatif terhadap minyak sawit.
Bentuk kerja sama yang diharapkan, antara lain, memperkuat peran CPOPC (Council of Palm Oil Producing Countries) atau Organisasi Negara-Negara Produsen Minyak Sawit sehingga memberikan kontribusi dan memainkan peran seperti OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak Bumi).
Seorang pejabat dari MPOB (Malaysia Palm Oil Board) atau Badan Minyak Sawit Malaysia menyebut kebijakan bebas deforestasi Uni Eropa adalah bentuk diskriminasi perdagangan negara maju terhadap negara berkembang. Meski banyak produk yang akan terdampak, yang paling parah terkena dampak dan akan sulit masuk pasar Uni Eropa adalah produk-produk dari negara berkembang seperti minyak sawit. Kebijakan itu harus dilawan.
Pelaku usaha dan petani kelapa sawit di Indonesia juga mengkritik keras kebijakan bebas deforestasi Uni Eropa. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sebagai asosiasi pelaku usaha kelapa sawit di Indonesia menilai kebijakan Uni Eropa itu sudah masuk terlalu jauh ke wilayah kedaulatan negara lain.
Apalagi, hingga mereka menuntut dilakukan uji tuntas, misalnya, hingga ke perkebunan kelapa sawit milik petani. Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengatakan, yang paling dirugikan dari kebijakan bebas deforestasi Uni Eropa adalah petani kelapa sawit, baik di Indonesia maupun Malaysia.
Jika yang dituntut Uni Eropa adalah komitmen keberlanjutan, Indonesia dan Malaysia telah memiliki standar keberlanjutan, yaitu ISPO (Indonesian Sustainable Palm OIl) dan MSPO (Malaysia Sustainable Palm Oil) yang seharusnya diterima dan diakui Uni Eropa sebagai sebuah standar keberlanjutan global.
Strategi Diplomasi
Karena ini bukan kali pertama Uni Eropa berlaku diskriminatif, muncul ajakan agar Indonesia dan Malaysia memboikot ekspor minyak sawit ke Uni Eropa. Indonesia dan Malaysia adalah dua negara produsen minyak sawit terbesar dunia dengan volume produksi tahun 2021 masing-masing 50 juta ton dan 20 juta ton.
Dari total produksi Indonesia yang mencapai 50 juta ton, sekitar 35 juta ton terserap di pasar ekspor. Uni Eropa, dengan 26 negara anggota, adalah pasar ekspor minyak sawit terbesar ketiga dari Indonesia setelah Tiongkok dan India.
Perlukah Indonesia mengikuti saran Malaysia, yakni memboikot ekspor minyak sawit ke Uni Eropa? Menurut penulis tidak perlu. Boikot ekspor adalah langkah yang tidak taktis dan emosional.
Meski minyak sawit akan makin sulit masuk pasar Uni Eropa, tetap ada sisi baik yang bisa diambil dan menjadi peluang bagi Indonesia dan Malaysia untuk memperbaiki reputasi minyak sawit yang belum baik, khususnya di negara-negara maju.
Yang diperlukan adalah sebuah strategi diplomasi perdagangan yang efektif. Dalam konteks ini, strategi Indonesia dan Malaysia harus searah. Tidak bisa jalan sendiri-sendiri, bersaing seperti saat memperebutkan pasar Tiongkok dan India.
Sebagai dua negara produsen minyak sawit terbesar dunia dengan total pangsa pasar mencapai 85 persen, posisi tawar Indonesia dan Malaysia sangat kuat. Penulis berkeyakinan, Uni Eropa tidak benar-benar ingin menghilangkan minyak sawit dalam pasar mereka.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: