Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Boikot Retribusi Hingga Kirim Surat ke Presiden (34)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Boikot Retribusi Hingga Kirim Surat ke Presiden (34)

Tokoh Surat Ijo Moch Faried menyerahkan buku Arek Suroboyo Menggugat ke Wakil Wali Kota Surabaya Armuji.-PDIP Jatim-

Pemboikotan retribusi izin pemakaian tanah (IPT) bukan main banyaknya. 24 ribu keluarga tak mau bayar. Bahkan ada yang konsisten tak bayar lebih dari 20 tahun.

Supadi HS salah satunya. Pria asal Klaten itu beli tanah di Bratang Gede pada 1971. Di tahun itu pemkot mulai memberlakukan sistem sewa untuk kali pertama. Enam tahun kemudian istilah sewa diganti retribusi.

Ia mau beli tanah itu karena sudah dikavling dan ada sarpras jalan. Supadi juga mengecek status tanah itu ke Pemkot. Ternyata peruntukannya permukiman.

“Saya beli dengan perjanjian jual beli yang disaksikan RT/RW,” kata Supadi dalam buku Arek Suroboyo Menggugat. Tak ada yang aneh kala itu. Ia merasa pembelian tidak akan berujung masalah. 

Setelah 14 tahun membeli tanah itu, pemkot membuka program pemutihan tanah. Warga diiming-iming akan dapat kepastian hukum atas tanah yang sudah ditempati.

Warga berbondong-bondong menyerahkan tanah itu ke pengurus RW. Data kolektif itu lantas dikumpulkan ke pemkot sebagai barang bukti atas hak atas tanah yang sudah dibeli dan ditempati.

Banyak yang menanti sertifikat hak milik (SHM). Namun lima tahun pasca pengumpulan data itu, muncul SK Wali Kota yang menyatakan bahwa tanah yang ditempati warga adalah tanah negara yang dikuasai pemkot.

Supadi juga mendapati bahwa tanahnya adalah eks eigendom nomor 1.304. Ia merasa kebijakan pemkot tidak beres. Maka sejak 2001 ia sudah tak mau lagi bayar retribusi rumahnya. Selain Supadi ada banyak warga yang menolak bayar retribusi lebih dari 20 tahun.

Pada 2017 Supadi juga bersurat ke presiden. Ia mengadu, bahwa Pemkot Surabaya menyewakan tanah negara yang ditempati warga puluhan tahun. Seharusnya warga bisa mensertifikatkannya. 

Nyatanya warga malah ditarik beban ganda. Pada 2010 pemerintah pusat memberi kewenangan pemerintah daerah untuk menarik Pajak Bumi Bangunan.

Warga yang selama ini membayar PBB ke pemerintah pusat harus menyetor pajak ke pemkot. Sementara retribusinya juga harus dibayar setiap tahun. 

Warga memboikot pembayaran retribusi, sementara PBB tetap dibayar. Pemboikotan retribusi dilakukan sebagai simbol perlawanan. Sementara PBB tetap tertib dibayar sebagai simbol warga negara yang taat aturan. (Salman Muhiddin) 

Surat Ijo dan Dunia Pendidikan, BACA BESOK!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: