Sejarah dan Konflik Surat Ijo: Langkah Besar dari Komisi Informasi Jatim (37)

Sejarah dan Konflik Surat Ijo: Langkah Besar dari Komisi Informasi Jatim (37)

Pejuang Surat Ijo Saleh al Hasni saat berjuang bersama KPSIS.-Eko Suswantoro/Harian Disway-

Problem utama pada konflik surat ijo adalah keterbukaan informasi. Warga kesulitan mengakses data aset pemkot yang mereka tempati. Semakin ditutup-tutupi, pejuang surat ijo semakin yakin bahwa pemkot tak berhak atas tanah itu.


Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT) Surabaya yang menyimpan data aset itu tak bisa dimintai keterangan. Data aset pemkot termasuk dokumen rahasia. Tak bisa diakses sembarangan.

Pejuang surat ijo mulai mencari tahu riwayat tanah ke kelurahan. Riwayat tanah di seluruh kota tersimpan di buku-buku tua yang disimpan lurah.

Ada data petok D dan letter C. Petok D merupakan surat kepemilikan tanah sebelum Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) berlaku. Sementara letter C adalah buku register pertanahan yang dicatat di kantor desa atau kelurahan.

Riwayat tanah secara turun temurun ada di buku tua itu. Biasanya dicatat di buku folio bergaris. 

Sudah jadi rahasia umum bahwa data letter c di Surabaya itu sangat kacau. Bahkan ada tanah yang riwayatnya bisa diklaim lebih dari tiga orang.  Warga surat ijo yang meminta dokumen itu ke kelurahan ternyata mendapat jawaban yang sama: dokumen tidak bisa diberikan.

Suatu saat warga yang menggugat pemkot mengetahui bahwa salah satu alas hak atas tanah pemkot adalah SK HPL. Informasinya didapat dari fakta persidangan. Dokumen itu ada di Kementerian ATR/BPN. Namun BPN juga tidak memberikan.

Dokumen yang ditanyakan adalah SK HPL 53 di Perak Barat dan SK HPL 55 untuk Gubeng. Keduanya dikeluarkan 1997. “Kita kejar di Komisi Informasi,” ujar Pejuang Surat Ijo Saleh Alhasni.

Kantor Komisi Informasi Jatim ada di dekat Terminal Purabaya. Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) pimpinan Hariyono membawa serta masa setiap sidang. Warga yakin data tanah termasuk informasi publik yang tidak perlu ditutup-tutupi.

Hakim akhirnya memenangkan warga. SK HPL 53 dan 55 Tahun 1997 akhirnya ditangan warga.

Dua SK itu kini jadi senjata utama untuk keluar dari belenggu surat ijo. Ada pasal yang dilanggar di SK itu. Pejuang surat ijo sudah hafal isinya. Bahwa pemkot yang mengajukan SK tidak melihat tanah yang akan proses jadi HPL. Kalau sudah ditempati warga maka tanah itu tidak boleh diklaim pemkot. Harus ada pembebasan atau ganti rugi yang tidak pernah dilakukan.

Temuan berharga itu mengawali lompatan panjang pejuang surat ijo. Semuanya tidak instan. Warga sudah mencari jalan keluar lewat jalur birokrasi, politik,  menggugat ke PN Surabaya, Pengadilan Tinggi Jatim, PTUN, Mahkamah Agung RI, hingga Mahkamah Konstitusi. 

Tapi, siapa sangka perjuangan melalui Komisi Informasi Jatim yang jarang ditempuh orang  itu justru punya dampak sangat besar. (Salman Muhiddin)

Mengadukan Surat Ijo Tanah Masjid ke Menteri ATR BPN, BACA BESOK! 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: