Menanti Nakhoda Baru PSSI

Menanti Nakhoda Baru PSSI

SIAPAKAH ketua umum PSSI yang baru?-Ilustrasi: Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

JENDERAL TNI aktif sudah pernah.  JENDERAL pensiun sudah. Menteri sudah. Politikus sudah. Akademisi olahraga pernah. Pengusaha iya juga. JENDERAL polisi juga sudah. Mereka semua pernah memimpin PSSI. Namun, hingga kini sepak bola kita belum cerah juga. 

Umur PSSI sendiri sudah hampir satu abad. Tepatnya 92 tahun. Sayangnya,  hingga sekarang kompetisi belum mapan. Setiap tahun sistem kompetisi  selalu goyang.

Yang terakhir saja, kompetisi Liga 2  dibubarkan. Sekarang bingung lagi, keputusan dibatalkan lagi. Seakan-akan PSSI itu baru seumur jagung yang masih mencari bentuk. Masih mencari sistem.

Padahal, kalau dilihat dari usia sebanyak itu, sistem sepak bola nasional seharusnya sudah mapan. Bayangkan, PSSI yang lahir 19 April 1930 jauh lebih tua daripada organisasi sepak bola Vietnam (VFF). Berpuluh tahun Vietnam sibuk dengan perang dan terpecah belah, selatan dan utara. Mereka baru membentuk organisasi sepak bola yang solid pada 1989. 

Saya masih ingat, ketika negeri Vietkong itu bangkit sepak bolanya. Saya meliput pertandingan Indonesia vs Vietnam di SEA Games 1999 di Brunei. Indonesia lebih diunggulkan.  Kenyataannya, sebuah umpan lambung Vietnam melewati Bima Sakti, gelandang yang turun membantu pertahanan. Pemain Vietnam langsung menusuk untuk mencetak gol. Gol tunggal kemenangan Vietnam.

Berita langsung heboh. Hampir semua media tanah air menulis keok dengan negara yang baru saja selesai perang. Sindiran itu bukannya membuat PSSI menjadi baik. Malah sejak itu, kita lebih banyak kalahnya. Terakhir di Piala AFF, kita kalah 0-2.

Negara tetangga kita itu makin melambung. Kita jalan di tempat. Lihat peringkat FIFA Vietnam sekarang, urutan ke-95. Terbaik di Asia Tenggara. Indonesia? Tercecer di ranking ke-155.

Sebenarnya yang diimpikan pencinta bola tanah air sederhana saja, Merah Putih menang. Tidak perlu juga muluk-muluk. Paling tidak, menang di Asia Tenggara. 

Tapi, kok sepak bola Indonesia jalan di tempat. Dunia sepak bola adalah mata rantai. Timnas yang menjadi puncak kejayaan tak mungkin bisa berprestasi baik jika kompetisinya tidak baik. Kompetisi tak akan baik bila pembinaan tidak baik. Dan, semua itu tak akan baik bila pengurusnya tak baik. Ya hulunya, ya pengurus itu. 

Sudah 19 ketua umum. Tentu yang paling berkesan dan sangat dikenang adalah yang paling banyak menorehkan prestasi. Yakni, Kardono (1983–1991)

Kardono saat itu menjabat sekretaris militer presiden. Di eranya, Indonesia tembus semifinal Asian Games 1986 di Korea Selatan. Juga, menjadi juara sub grup 3B pra-Piala Dunia 1986.

Kompetisi yang menjadi urat nadi sepak bola, di era Kardono, berjalan lancar. Galatama dan Perserikatan sama-sama jalan. Muncul pemain seperti Ricky Yacub dan Herry Kiswanto di Galatama. Ada Robby Darwis dan Ribut Waidi di Perserikatan. Puncaknya, meraih medali emas di SEA Games 1987 dan 1991. Setelah itu, sudah tak pernah lagi meraih gelar bergengsi. 

Pasca-Kardono, dua kali berturut-turut menteri perhubungan jadi bos PSSI. Azwar Anas dan Agum Gumelar. Keduanya dipilih agar transportasi kompetisi lancar. Saat itu kompetisi berkali-kali terganggu karena situasi politik.

Sejak era Nurdin Halid (politikus) (2003–2011), PSSI menjadi sorotan. Apalagi, saat Nurdin mengendalikan PSSI dari dalam penjara. Kompetisi juga penuh kontroversial karena sempat menghapus degradasi. Timnas makin sulit bersaing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: