Belajar Toleransi di GKJW Pepanthan Paleran: Lagu Rohani Bahasa Madura, Tempat Ibadah Dibangun Umat Lintas Agama

Belajar Toleransi di GKJW Pepanthan Paleran: Lagu Rohani Bahasa Madura, Tempat Ibadah Dibangun Umat Lintas Agama

Halaman GKJW Pepanthan Paleran di Jember, Kamis, 22 Desember 2022.-Fidelis Daniel/Harian Disway-

Greja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Pepanthan Paleran terledak di dusun Paleran, Desa Cumedak-Sumberjambe, Jember, Jawa Timur. Jemaatnya unik: etnis Madura yang identik dengan Islam. Umat beragama di sana, saling membantu mendirikan tempat ibadah tanpa ribut-ribut.

 

--

 

Tujuh anjing berlarian di lapangan dan pelataran GKJW Pepanthan Paleran, Kamis, 22 Desember 2022. Masing-masing punya corak dan warna berbeda. Ada yang kuning, hitam, putih, dan abu-abu. Beda-beda tapi sangat rukun. 

 

Sama seperti kehidupan sosial budaya di tempat itu. Apakah ini pertanda dari Sang Pencipta? Saya tersenyum sambil termenung melihat anjing-anjing yang sedang bercengkrama itu. 

 

Sebelum, ke Sumberjambe, saya sudah membaca profil singkat greja (dibaca grejo dalam bahasa Jawa) tersebut. GKJW itu unik sekali. Lagu-lagu rohaninya dari bahasa Madura. Mungkin ini satu-satunya di dunia. Bahkan di pulau Madura tak ada yang seperti ini. 

 

Umat beragama di sana begitu rukun. Jangan bayangkan ada penolakan pembangunan rumah ibadah di sini. Atau larangan ibadah natal seperti di berbagai daerah. 

 

Yang terjadi justru sebaliknya, umat beragama saling membantu mendirikan rumah ibadahnya. Tanpa kebencian. Hanya cinta sesama makhluk Tuhan.

 

Semua hidup dengan penuh toleransi. Termasuk anjing-anjing yang berkeliaran di desa itu.

 

Apa kaitannya anjing-anjing itu dengan kehidupan sosial budaya di Sumberjambe? Ada.

 


Jemaat GKJW Pepanthan Paleran dan perwakilan Premier Place Surabaya Airport, 22 Desember 2022.-Fidelis Daniel/Harian Disway-

 

Dua peneliti Michigan State University menerbitkan penelitian ke Journal of Research in Personality pada 2019. Kesimpulannya: kepribadian anjing mencerminkan kepribadian pemilik dan lingkungannya.

 

Ketika pemiliknya penyayang, anjing-anjingnya ikut ramah. Sebaliknya, jika pemilik dan lingkungan agresif, maka anjing-anjing cenderung bersikap sama.

 

Tentu akan ada perdebatan soal urusan anjing ini. Apalagi di Indonesia. Anjing bisa dikonotasikan sebagai hal negatif. Tapi untuk kali ini, mari kita tinggalkan perdebatan itu.

 

Kami dari Harian Disway yang berkunjung ke Paleran menangkap bahwa segala sesuatu di Sumberjambe berjalan begitu harmonis. Sampai ke anjing-anjing peliharaan warganya.

 

Warga sempat menginisiasi wilayahnya sebagai kampung rohani. Sayangnya dari 19 syarat yang ditentukan pemda, hanya 4 yang terpenuhi. Hingga kini mereka masih berusaha memenuhi persyaratan yang kurang. 

 

Dengan penetapan kampung rohani, saya membayangkan warga bisa menyebarkan semangat toleransi lewat wisata religi. Pariwisatanya sangat potensial. Yang datang tak akan kecewa dengan keindahan Gunung Raung dan Argopuro yang mengapit wilayah itu.

 

Siang itu, kami datang bersama rombongan Premier Place Hotel Surabaya Airport (Juanda). Mereka menggelar Christmas Charity untuk kali pertama ke GKJW Pepanthan Paleran.

 

Sebelum ibadah, nampak seorang pria memakai kaos dengan celana kolor sedang menyapu pelataran gereja. Ia menyapa kawan yang lewat di hadapannya dengan bahasa yang asing ditelinga saya. Aksennya terdengar familiar: Madura.

 

Anda sudah tahu: Jember masuk wilayah Tapal Kuda. Yakni istilah untuk  kawasan di bagian timur Provinsi Jawa Timur. Meliputi, Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Lumajang, Pasuruan, Situbondo dan  Probolinggo. Persilangan Jawa-Madura.

 

Menurut Balai Bahasa Jatim, Tapal Kuda juga disebut sebagai Blambangan atau dalam bahasa Jawa disebut daerah ‘Brang Wetan’ (Seberang Timur) karena kawasan ini tidak pernah menjadi bagian dari kerajaan Mataram.

 

Kawasan Tapal Kuda dihuni oleh beberapa etnis. Etnis mayoritas adalah etnis Pandalungan dan Jawa. Etnis Pandalungan itulah yang disebut persilangan Madura-Jawa. Makanya bahasa Madura dan Jawa berbaur sangat kental.


WAJAH RIANG Jemaat GKJW Pepanthan Paleran Jember yang hadir di acara charity Premier Hotel Surabaya Airport (Juanda).-Fidelis Daniel/Harian Disway-

 

Beberapa orang bercanda bahwa mereka yang berasal dari Pandalungan adalah Madura Swasta. Sedangkan yang tinggal di Pulau Madura disebut Madura Ori. Dan yang terpenting, saya tak pernah mendengar ada orang yang tersinggung dengan guyonan itu. 

 

Madura sangat kental dengan kultur Islamnya. Makanya, ketika tahu ada jemaat GKJW berbahasa Madura di Jember saya agak kaget.

 

Di Desan Cumedak-Sumberjambe Kristen Madura atau Pandalungan menjadi penduduk mayoritas. 

 

Namun, ketika sudut pandangnya diperluas, mereka adalah masyarakat minoritas kuadrat. Di Indonesia Kristen jadi Agama Minoritas. Sedangkan Madura di Kristen jumlahnya sangat sedikit. Minoritas di Indonesia dan Kristen.

 

Tetapi di situlah keindahannya. Sama seperti Paguyuban Islam Tionghoa Indonesia (PITI). Tionghoa adalah penduduk minoritas di Indonesia. Sedangkan di Islam, etnis Tionghoa jumlahnya tak banyak. Tak ada masalah. Yang ribut-ribut biasanya orang-orang “bersumbu pendek”.

 

Mungkin ini terdengar klise, tetapi dari halaman gereja itu, saya melihat toleransi sesungguhnya. Bagaimana kalau sudah masuk ke gerejanya?



Kiai Pun Memeliharan Anjing

 

Rupanya yang menyapu halaman itu adalah sang Ketua GKJW setempat: Winarno. Saya sempat bingung saat ada seseorang yang menyapanya dengan sebutan Pak Dani.

 

Ia mengatakan bahwa di daerahnya, seorang pria yang sudah punya anak akan mendapat sebutan dengan nama anaknya. Oooo.. jadi nama anak Winarno adalah Dani. I see..

 

Pak Dani menceritakan sejarah singkat GKJW Pepanthan Paleran. "Gereja ini dulu dibangun jemaat bersama orang-orang muslim. Begitu juga di tiga pepanthan lain daerah sini," begitu katanya. 

 

Winarno juga menceritakan bahwa gereja yang ada di hadapan kami bukan gereja induk. Namun,  GKJW Pepanthan Paleran jemaatnya paling banyak dibanding pepanthan yang lain di Sumberpakem. 

 

Saya juga menanyakan soal anjing-anjing itu. Bagaimana orang muslim disini bisa hidup beriringan dengan anjing. Tanpa terganggu atau risih.

 

Setahu saya, yang tinggal di Surabaya dan Sidoarjo, teman-teman muslim menghindari anjing karena liurnya najis. Banyak juga yang tak berani dengan anjing. 

 

“Kiai-kiai di sini  justru memelihara anjing,” katanya dengan tersenyum. Saya kaget lagi karena Paleran tak henti-hentinya memberi kejutan. Rupanya, anjing dipelihara sebagai pengusir hama di perkebunan milik kiai.

 

Saya jadi teringat dengan kisah dari teman-teman muslim saya soal Nabi Muhammad:

 

Nabi Muhammad pernah menuturkan suatu kisah tentang seorang pelacur pada zaman keemasan Bani Israil. Perempuan yang sehari-hari tenggelam dalam dosa besar itu suatu hari menemukan anjing yang berputar-putar mengitari sumur.

 

Pelacur itu menyadari bahwa anjing itu kehausan. Maka, dia mengambil air di sumur lalu memberikannya ke anjing yang hampir sekarat itu. 

 

Rasulullah SAW bersabda, dosa-dosa sang pelacur kemudian diampuni oleh Allah SWT lantaran kasih sayangnya terhadap anjing itu. Dari sana saya belajar bahwa Islam tak hanya mengajarkan kasih sayang antar umat beragama. Tapi semua makhluk Tuhan.

 

Lagu Rohani Pakai Bahasa Madura

 

Kejutan dari GKJW Pepanthan Paleran berlanjut. Baru kali ini dalam hidup saya mendengar lagu rohani pakai Bahasa Madura. 

 

Saat kami asyik mengobrol dengan Winarno soal hal itu, datang seorang pria dengan pakaian yang sangat rapi. Ia mengenakan kemeja hitam dengan collar di bagian kerah. Senyumannya begitu teduh.


Pendeta Kukuh berdiri di depan altar GKJW Pepanthan Paleran yang didesain dengan ornamen bambu.-Fidelis Daniel/Harian Disway-

 

“Beliau pendeta di sini,” kata Pak Dani sambil memandang ke arah sang pendeta.  Namanya Pendeta Kukuh Kristanto. Ia memimpin empat pepanthan termasuk GKJW di Paleran. Kami mulai berkenalan dan ngobrol soal keunikan GKJW yang terletak di antara Gunung Raung dan Argopuro itu.

 

"Jemaat disini punya karakter yang tidak dijumpai di daerah lain. Karena Misa pada Minggu ganjil menggunakan bahasa Madura, lalu yang genap berbahasa Indonesia," ucap Pendeta Kukuh. 

 

Ada Tubuh Yesus di Salib Kristen

 

Mumpung ada Pendeta Kukuh, saya menanyakan hal yang bikin saya bertanya-tanya sejak awal: Mengapa ada tubuh Yesus yang terpampang di kayu salib gereja?

 

Sangat aneh. Sebab Umat Kristen tidak memakai tubuh Yesus di salibnya. Itu dilakukan umat Katolik. 

 

Pendeta asal Mojokerto itu melempar pertanyaan ke Winarno. Katanya, ia tak enak menjawab karena baru bertugas satu tahun di sana. Winarno melempar lagi pertanyaan itu ke sang pendeta. Pertanyaan soal agama seharusnya ditanyakan ke pakarnya. 

 

"Ya, sepertinya itu ketidaksengajaan, mas. Karena gereja dibangun sama-sama umat Islam pada 1958," katanya tersenyum. Bisa jadi, cuma di sini gereja Kristen yang punya Korpus. 

 

Lihatlah betapa toleran mereka. Kesalahan pada dekorasi salib dipertahankan. Tidak ada ribut-ribut. Justru, hal yang dianggap tak lazim itu jadi ciri khas GKJW Pepanthan Paleran. 

 


TIGA SALIB KORPUS jadi ciri khas GKJW Pepanthan Paleran di Jember.-Fidelis Daniel/Harian Disway-

 

"Disini punya tradisi kalau gereja punya kegiatan, orang Islam ikut membantu. Begitu juga kalau orang Islam atau di masjid ada acara, jemaat gereja ikut juga," kata Pak Hadi. 

 

Dua hari lalu umat GKJW ikut membantu pengecatan masjid. Pengurus masjid kekurangan tenaga. "Halah, kayak begitu sudah biasa. Saling bantu saja atas nama kemanusiaan," tambah pak pendeta lalu tersenyum. 

 

Potensi Wisata Kampung Rohani Paleran

 

Hujan turun di siang itu. Jemaat berhamburan mencari tempat berteduh. Keberkahan untuk para petani sayur, kopi dan tembakau. 

 

Kata mereka, panen masih lama. Menunggu musim kemarau. Sumberjambe sedang sangat indah dan hijau. Kami datang di waktu yang tepat.

 

Nanti kalau sudah panen, saya berharap bisa mampir lagi ke Sumberjambe. Warga yang mayoritas petani punya produk unggulan: kopi jepon.  

 

Rintik hujan masih tersisa. Ibadah dimulai siang itu. Jemaat yang hadir didominasi anak-anak. Di atas salib altar gereja, terpampang spanduk dengan tulisan: "Pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain" (Matius 2:12). Tema Natal di 2022. 

 

Tak hanya nyanyian-nyanyian bahasa Madura pengiring ibadah yang membuat khas. Altar gereja punya dekorasi menarik. Yakni terdapat rangkaian bambu di sekeliling kayu salib. 

 

"Banyak orang disini menanam sengon tapi lupa dengan fungsi bambu. Filosofinya, secara ekologi tanaman bambu ramah lingkungan, yaitu merawat air," kata Pendeta Kukuh.

 

 

Mengapa banyak suku Madura atau Pandalungan beragama Kristen di Sumberjambe? Belanda banyak berpedan. "Di tahun 1882, dulu di desa ini berdiri sebuah klinik yang dibuat orang Belanda. Karena dipercaya mujarab, penduduk satu-persatu mengikuti keyakinan orang Belanda itu," ucap Pendeta Kukuh tentang sejarah GKJW di Jember. 

 

"Pada 1931 ada sidang sinode di Mojowarno,  Jombang. Dalam naungan Belanda yakni Java Committee, menyerahkan hasil penginjilannya di wilayah sini dan Bondowoso," lanjut Pendeta Kukuh.

 

Saya bersyukur sebelum natal bisa datang ke GKJW Pepanthan Paleran.  Kekhasan yang natural. Korpus yang tak disengaja, tetapi jadi ciri khas. Maruda Kristen. Kristen tapi Madura. Unik.

 


KEJUTAN SINTERKLAS untuk anak-anak GKJW Pepanthan Paleran yang mendapat bingkisan sebelum Natal.-Fidelis Daniel/Harian Disway-

 

Tidak ada ribut-ribut soal tempat ibadah. Saat menulis artikel ini, saya membaca kabar menyedihkan di Cilebut, Kabupaten Bogor.  Ada yang mempermasalahkan perayaan natal di salah satu rumah warga. Padahal yang merayakan hanya tiga orang.

 

"Kerugian kalian apa melarang kami ibadah, apa kerugian kalian," tanya wanita itu berkali-kali kepada orang-orang yang berkerumun. Ia terus mengulangi perkataan itu sambil merekam dari HP. 

 

Yang melegakan, respon netizen justru menunjukkan bahwa Indonesia makin dewasa. Makin toleran. Makin Paleran. (Fidelis Daniel-Salman Muhiddin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: